Jakarta (ANTARA) - Deputi Bidang Perlindungan Khusus Anak pada Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Nahar mengatakan penyandang disabilitas merupakan salah satu kelompok yang rentan mengalami tindakan diskriminatif di berbagai bidang, seperti pendidikan, ekonomi, sosial, hukum dan kesehatan.

"Kerentanan berlapis dialami oleh perempuan dan anak perempuan penyandang disabilitas. Hal itu karena identitas ganda mereka sebagai bagian dari kelompok-kelompok rentan di masyarakat," ujar Nahar, melalui siaran pers di Jakarta, Kamis.

Tak hanya itu, kata dia, penyandang disabilitas juga rentan mengalami eksploitasi dan berbagai bentuk kekerasan lainnya.

Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA), sepanjang 2021 terjadi 987 kasus kekerasan terhadap anak penyandang disabilitas yang dialami oleh 264 anak laki-laki dan 764 anak perempuan.

Menurut Nahar, jenis kekerasan yang paling tinggi jumlah korbannya adalah kekerasan seksual, yaitu 591 korban.

"Anak penyandang disabilitas rentan dijadikan korban kekerasan seksual, bahkan oleh orang terdekatnya. Hal ini membuat anak penyandang disabilitas merasa hidupnya tidak aman dan merasa tertekan," tuturnya.

Kemen PPPA telah melakukan berbagai upaya untuk mencegah terjadinya kekerasan, terutama kekerasan seksual terhadap anak penyandang disabilitas, khususnya di lingkungan pendidikan, di antaranya dengan membentuk Forum Koordinasi Perlindungan Anak Penyandang Disabilitas, penyusunan buku panduan, melakukan sosialisasi dan bimbingan teknis.

"Hal ini kami lakukan karena hasil kajian cepat terkait pemantauan perlindungan peserta didik penyandang disabilitas di satuan pendidikan inklusi menunjukkan sebanyak 22,6 persen peserta didik penyandang disabilitas mengaku pernah mengalami kekerasan," ujar Nahar.

Dia menambahkan pemerintah telah mengupayakan berbagai regulasi untuk memberikan efek jera kepada pelaku kekerasan seksual terhadap anak, khususnya anak penyandang disabilitas.

"Pasal 81 Ayat (5) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tegas menyebutkan hukuman maksimal dapat diterapkan terhadap pelaku, yaitu pidana mati, seumur hidup dan penjara antara 10 hingga 20 tahun, apabila korbannya lebih dari seorang, mengakibatkan luka berat, gangguan jiwa, penyakit menular, terganggu atau hilangnya fungsi reproduksi, dan atau korban meninggal dunia," katanya.

Pemerintah juga telah menetapkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik dan Pengumuman Identitas.

Ketentuan ini, kata Nahar, dapat menjadi hukuman pidana tambahan, apabila pelaku melakukan persetubuhan berulang atau pernah dipidana sebelumnya.

Karena itu dia menekankan pentingnya partisipasi masyarakat untuk melapor kepada lembaga terkait apabila mengetahui atau melihat adanya kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak penyandang disabilitas.

"Masyarakat juga dapat menghubungi layanan Sahabat Perempuan dan Anak 129 (SAPA129) melalui Call Center 129 atau WhatsApp 08111-129-129," katanya.
 

Pewarta: Anita Permata Dewi
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022