Kondisi global saat ini sangat volatile, penuh ketidakpastian, sehingga kemungkinan aliran modal asing masuk ke Indonesia besar.
Jakarta (ANTARA News) - Penguatan nilai tukar rupiah yang terus-menerus dalam beberapa waktu terakhir hingga terdorongnya peningkatan cadangan devisa nasional memberikan indikasi kuat bahwa Indonesia telah semakin memenuhi syarat menjadi negeri lahan investasi alias negara penerimaan investment grade.

Namun, siapkah Indonesia dengan segala risikonya menampung aliran dana investasi tersebut?

Institute for Development of Economics & Finance (Indef) bahkan optimis menilai Indonesia telah memenuhi syarat sebagai negara penerimaan investment grade atau negara yang layak menjadi lahan investasi.

"Secara teori, Indonesia telah memenuhi persyaratan sebagai negara penerimaan investment grade," kata Direktur Eksekutif Indef, Prof Dr Ahmad Erani Yustika, setelah acara Kajian Tengah Tahun Indef 2011 di Jakarta, belum lama ini.

Ahmad Erani Yustika mengatakan, sejumlah indikator ekonomi telah mengarahkan Indonesia pada prasyarat positif negara investment grade di antaranya dalam hal penguatan rupiah yang telah berlangsung sejak lama.

Penguatan nilai tukar tersebut berpengaruh besar terhadap perhimpunan cadangan devisa nasional mencapai 119,7 miliar dolar AS atau setara dengan 6,8 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah.

"Sebelumnya Bank Indonesia (BI) juga telah menjelaskan selama 2011, rupiah menguat 1,53 persen menjadi Rp8.577 per-dolar AS dengan volatilitas tetap terjaga," katanya.

Menurut dia, dua hal yang harus dipahami dari penguatan tersebut adalah potensi pengurangan tekanan inflasi sisi impor dan masalah daya saing eskpor nasional.

Penguatan rupiah, dinilai BI, sejalan dengan mata uang Asia sehingga belum banyak mendorong koreksi ekspor.

Sementara dari sisi inflasi, kata Erani, perkembangan inflasi yang relatif tinggi memaksa BI memertahankan BI rate pada 6,75 basis point.

"Sejak 2010, BI terus bergerak mengendalikan ekses likuiditas perekonomian, terutama yang bersumber dari aliran modal asing," katanya.

Selain dari potensial capital inflow, inflasi juga dipengaruhi oleh kenaikan harga minyak dunia dan pangan internasional.

Ia berpendapat, kinerja nilai tukar rupiah masih mengalami penguatan sejalan dengan aliran modal asing.

"Secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa inflasi utama yang terjadi di Indonesia bersumber dari sisi penawaran," katanya.

Erani memperkirakan inflasi pada Juli 2011 akan berkisar pada angka 0,8-satu persen terindikasi dari sudah naiknya harga-harga jauh sebelum bulan Ramadhan. Kenaikan terbesar terjadi pada harga bahan pangan.

"Sampai akhir tahun kami mempredikasikan inflasi akan berkisar 5,8-6 persen dengan asumsi tidak ada kenaikan harga BBM atau kebijakan lain," katanya.

Economic Bubble

Untuk merespon potensi menjadi negeri lahan investasi, sejumlah pakar menilai pemerintah harus menyiapkan kebijakan pendukung yang memadai untuk menekan risiko terjadinya gelembung ekonomi alias economic bubble.

Pengamat Institute for Research and Community Service, Universitas Atma Jaya, A Prasetyantoko mengatakan, Indonesia memerlukan kebijakan pendorong pembangunan infrastruktur agar tidak terjadi gelembung ekonomi (economic bubble).

"Kondisi global saat ini sangat volatile, penuh ketidakpastian, sehingga kemungkinan aliran modal asing masuk ke Indonesia besar," kata pengamat ekonomi, A Prasetyantoko.

Menurut dia, tiga blok raksasa perekonomian dunia yakni Amerika Serikat, Uni-Eropa, dan China kini hampir seluruhnya sedang mengalami masalah ekonomi.

Ia berpendapat, bagi Indonesia hal itu tidak akan berpengaruh signifikan dari sisi negatif tetapi justru akan mendorong "larinya" modal asing ke pasar kapital di Tanah Air.

"Investor global bisa dengan mudah masuk ke Indonesia, itu salah satu penyebab Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kita naik signifikan," katanya.

Namun, hal itu, kata dia, harus disikapi dengan cermat karena jika tidak akan mengancam Indonesia masuk dalam perangkap gelembung ekonomi.

Gelembung ekonomi atau economic bubble merupakan perdagangan dalam volume besar dengan harga yang sangat berbeda dengan nilai intrinsiknya atau dengan kata lain memperdagangkan produk atau aset dengan harga yang lebih tinggi daripada nilai fundamentalnya.

Hal itu, dinilai sangat berbahaya bagi Indonesia karena harga-harga dalam gelembung ekonomi dapat berfluktuasi dengan tidak menentu dan menjadi tidak mungkin untuk memprediksinya hanya berdasarkan penawaran dan permintaan saja.

"Oleh karena itu, perlu ada spending, agar aliran modal masuk ke sektor riil," katanya.

Ia menyarankan agar pemerintah mulai memikirkan kebijakan yang mendorong pembangunan sektor infrastruktur.

"Kebijakan infrastruktur adalah jawaban terbaik untuk persoalan ini," kata A Prasetyantoko.

Insentif UKM

Demi merespon potensi mengalirnya dana investasi ke Indonesia, sektor riil dengan pelaku utamanya adalah UKM dinilai perlu mendapatkan keberpihakan kebijakan melalui pemberian insentif yang memadai.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Bambang Sujagad, mengatakan, sektor usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di Indonesia harus diberi insentif atau keringanan pajak.

"Jangan hanya usaha besar yang dianak-emaskan tetapi UMKM juga harus mendapatkan kebijakan yang memihak," kata Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Industi, Riset, dan Teknologi Kadin Indonesia, Bambang Sujagad.

Ia mengatakan, sektor UMKM memainkan peran yang cukup besar di samping jumlahnya yang mendominasi pelaku usaha di Tanah Air.

Pihaknya memperkirakan jumlah pelaku UMKM saat ini berkisar 40 juta unit dengan jumlah Industri Kecil dan Menengah di antaranya 3,2 juta unit usaha.

"Dampaknya terhadap penyerapan tenaga kerja cukup besar kalau satu unit saja menyerap lima orang sudah sangat banyak tenaga kerja yang terserap ke sektor ini," katanya.

Pihaknya menyayangkan kebijakan pemerintah yang selama ini cenderung" menganakemaskan" usaha besar dengan memberi mereka kebijakan "tax holiday" dan insentif yang lain.

Menurut dia, sektor UMKM juga harus mendapatkan keringanan dan insentif untuk mendukung usaha mereka.

Selama ini, sektor UMKM mampu bertahan dan menjadi tulang punggung perekonomian Indonesia.

"Mereka selama yang "suffering"(kesulitan, red) . Jadi sudah waktunya pemerintah meninjau kembali beberapa kebijakan agar lebih memihak kepada UMKM," katanya dan menambahkan bahwa insentif itu dapat berupa keringanan pajak atau lainnya.

Menurut dia, dengan mengalirkan dana investasi ke sektor riil pergerakan perekonomian akan dirasakan semakin nyata dan konkret, terlebih di sebuah negara yang telah memproklamirkan dirinya sebagai negara berkeadilan sosial. (H016)

Oleh Hanni Sofia
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2011