Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi VII DPR Dyah Roro Esti berharap ajang G20, yang berlangsung di Indonesia pada 2022 ini dapat menjadi momentum bagi percepatan proses transisi energi di tanah air.

Menurut dia, dalam keterangannya di Jakarta, Jumat, mitigasi perubahan iklim tidak lepas dari sektor energi, dengan sekitar 30 persen dari total emisi karbon berasal dari sektor tersebut.

"Salah satu prioritas kami di Komisi VII DPR RI yang membidangi sektor energi, riset, inovasi, dan industri dalam rangka mendorong pemanfaatan energi bersih adalah RUU tentang Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Mengingat juga perlu adanya terobosan agar tercapainya target 23 persen bauran energi nasional kita dari EBT pada 2025," ujar legislator dari kalangan milenial tersebut dalam diskusi panel Peluncuran Transisi Energi G20 di Jakarta, Kamis (10/2/2022).

Sebelumnya, Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan mewakili Presiden Joko Widodo bersama Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif meluncurkan Pilar Transisi Energi G20 pada Kamis (10/2/2022).

Baca juga: Anggota DPR Roro Esti apresiasi Poso Energy manfaatkan EBT

Kader muda Golkar ini juga menyampaikan pemanfaatan EBT di Indonesia baru 2,5 persen dari total potensi yang dimiliki, sehingga perlu kerja sama multisektoral, dari sisi pemerintah, legislator, swasta, masyarakat umum, termasuk para pemuda.

"Salah satu faktor utama dalam pengembangan EBT adalah terkait dengan harga, di mana harga EBT masih belum kompetitif, sehingga perlu dukungan regulasi terkait masalah ini," ujar Roro Esti.

Oleh dari itu, pembahasan mengenai transisi energi tidak terlepas dari inovasi, yang dapat berdampak pada harga agar menjadi lebih kompetitif.

Menurut dia, peraturan yang mendukung diperlukan untuk mendorong upaya tersebut. Saat ini, pemerintah mulai melakukan skema terkait masalah pembiayaan misalnya melalui penetapan harga karbon, yang berkisar 2,5 dolar AS per metrik ton CO2.

Roro Esti berpendapat ajang G20 juga harus dipandang sebagai kesempatan untuk belajar dari negara-negara maju dalam hal pemanfaatan energi yang lebih ramah lingkungan seperti gas sebagai motor utama transisi, hingga EBT.

Dengan semangat G20, lanjutnya, diharapkan Indonesia mampu menarik dan mengoptimalkan bantuan internasional dari negara-negara yang telah maju dari segi teknologi dan implementasi mitigasi perubahan iklim. Bantuan bantuan tersebut dapat berupa pendanaan hijau atau green funding, climate financing, ataupun transfer knowledge.

Anggota Dewan Komisaris Low Carbon Development Indonesia (LCDI) ini juga menekankan bahwa transisi energi harus dipandang bukan lagi sebagai beban, namun peluang.

Baca juga: Anggota DPR Roro Esti berharap smelter Freeport jadi penggerak ekonomi

"Menurut hasil riset dari LCDI, transisi energi dapat menghasilkan 15,3 juta pekerjaan pada tahun 2030, ini sebuah peluang yang patut untuk kita maksimalkan," ujarnya.

Diskusi Peluncuran Transisi Energi G20 turut dihadiri Yudo Dwinanda Priaadi, Pimpinan Sidang ETWG, dan Agung Wicaksono, Deputi Chair Taskforce Energy, Climate, Sustainability B20, sebagai panelis.

Sementara, turut memberikan komentar dalam diskusi tersebut adalah Nicke Widyawati, Direktur Utama PT Pertamina (Persero), dan Montty Girianna, Deputi Bidang Koordinasi Pengembangan Usaha Badan Usaha Milik Negara, Riset, dan Inovasi Kemenko Marves.

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2022