Jakarta (ANTARA) - Pemerintah memiliki komitmen kuat untuk segera menyelesaikan pembahasan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS).

Komitmen kuat itu ditunjukkan oleh Presiden Joko Widodo secara gamblang melalui pernyataannya 4 Januari lalu, yang mendorong percepatan pengesahan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) di DPR RI.

Kala itu Presiden menyampaikan telah meminta Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU TPKS yang dibentuk pemerintah untuk segera menyiapkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) terhadap draf RUU yang sedang disiapkan DPR RI.

Presiden meminta proses pembahasan bersama bisa dilakukan lebih cepat, masuk ke pokok-pokok substansi untuk memberikan kepastian hukum serta menjamin perlindungan pada korban kekerasan seksual. Tujuannya tidak lain untuk melindungi korban kekerasan seksual secara maksimum.

Draf awal RUU TPKS berisi 11 bab yang terdiri atas 40 pasal. pada Bab I berisi Ketentuan Umum, dan soal Tindak Pidana Kekerasan Seksual diatur pada Bab II.

Ada empat bentuk kekerasan seksual yang diatur dalam naskah terbaru RUU TPKS, yaitu pelecehan seksual (fisik dan nonfisik), pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan hubungan seksual, dan eksploitasi seksual.

Selanjutnya, arahan presiden kemudian direspon secara cepat oleh Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU TPKS.

Tidak berselang lama setelah presiden memberikan arahan tersebut, daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU TPKS dari pemerintah berhasil diselesaikan.

Deputi V Kantor Staf Presiden Jaleswari Pramodhawardani menyampaikan, sejatinya pemerintah mempunyai waktu 2 bulan terhitung setelah menerima RUU TPKS dan naskah akademik dari DPR pada 26 Januari 2022. Namun per tanggal 12 Februari 2022, DIM RUU TPKS dari pemerintah dikabarkan telah selesai.

Menurut Jaleswari, cepatnya proses penyusunan DIM RUU TPKS tidak terlepas dari kerja kolektif dan kolaborasi begitu banyak pihak,

Total DIM RUU TPKS yang telah rampung disusun oleh pemerintah terdiri dari 588 DIM yang terangkum dalam 12 bab 81 pasal dan sudah ditandatangani oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Menteri Sosial, Menteri Hukum dan HAM serta Menteri Dalam Negeri untuk selanjutnya diserahkan kepada DPR.

Menurut Jaleswari, dalam penyusunan DIM RUU TPKS, Gugus Tugas Percepatan Pembentukan RUU TPKS yang dibentuk pada April 2021, tercatat sudah melakukan sedikitnya rapat koordinasi atau konsinyering sebanyak 6 kali bersama masyarakat sipil dan akademisi, kementerian/lembaga, Mahkamah Agung, Badan Legislasi DPR dan lainnya, sehingga turut mempercepat penyusunan DIM RUU TPKS.

Adapun Wakil Menteri Hukum dan HAM (Wamenkumham) sekaligus Ketua Gugus Tugas RUU TPKS Edward OS Hiariej mengatakan bahwa pemerintah mengupayakan berbagai substansi penyempurnaan terhadap RUU TPKS yang telah disusun DPR, mulai dari terobosan terkait pengaturan ketentuan pidana yang kini mencakup 7 jenis kekerasan seksual hingga hukum acara yang memudahkan dari segi pembuktian, proses, dan lain sebagainya.

Menurut pemerintah, RUU TPKS akan memenuhi aspek perlindungan dan pemulihan korban.

Baca juga: KSP puji kolaborasi penyusunan DIM RUU TPKS

Perjalanan RUU TPKS
Pembahasan RUU TPKS sejatinya berjalan cukup lama. Awalnya RUU tersebut bernama RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS).

Namun pada 7 September 2021, Ketua Panitia Kerja RUU PKS Willy Aditya, menyampaikan bahwa RUU PKS telah diubah menjadi RUU TPKS dan berstatus sebagai draf awal.

Willy mengatakan dalam RUU TPKS terjadi beberapa perubahan redaksi dan materi sebagai bagian dari dialektika yang terjadi agar pembahasan RUU terus mengalami kemajuan.

Dia mengatakan lahirnya judul dan materi baru tersebut mendapatkan kritik dari sejumlah kelompok, namun bisa dimaklumi. Kritik justru menunjukkan RUU mengalami kemajuan berarti dan terjadi dialog dalam pembahasannya.

Yang terpenting, tentu saja tujuan akhir dari RUU TPKS adalah terwujudnya sebuah payung hukum bagi para korban kekerasan seksual, baik dari aspek perlindungan maupun pemulihan.

Willy mengatakan penyusunan RUU TPKS tidak akan tumpah tindih dengan berbagai aturan yang sudah ada, sehingga aturan yang sudah diatur dalam undang-undang lain, tidak akan dibahas dalam RUU TPKS.

Dalam perjalanannya pada tanggal 18 Januari 2021, DPR RI akhirnya menyetujui RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR.

Persetujuan ini diambil usai sembilan Fraksi DPR RI menyampaikan pandangan masing-masing dalam Rapat Paripurna DPR RI, di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta.

Dari sembilan fraksi, diketahui hanya Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (F-PKS) yang tegas menolak RUU TPKS sebagai RUU inisiatif DPR.

Juru bicara F-PKS Kurniasih Mufidayati menyatakan fraksinya menolak RUU TPKS bukan karena tidak setuju atas perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, terutama kaum perempuan.

Baca juga: Menteri PPPA: DIM pemerintah pada RUU TPKS telah diselesaikan

Melainkan karena RUU TPKS menurutnya, tidak memasukkan secara komprehensif seluruh tindak pidana kesusilaan yang meliputi kekerasan seksual, perzinaan, dan penyimpangan seksual yang menurut fraksinya menjadi esensi penting dalam pencegahan dan perlindungan dari kekerasan seksual.

Apapun itu, payung hukum bagi penanganan kekerasan seksual saat ini memang sangat krusial untuk segera disahkan.

Komnas Perempuan sebelumnya menyebut telah menerima 4.500 aduan kasus kekerasan terhadap perempuan sepanjang Januari-Oktober 2021. Angka tersebut naik dua kali lipat dibanding tahun 2020.

Menurut Komnas Perempuan, darurat kekerasan seksual bukan hanya persoalan peningkatan angka kekerasan seksual maupun soal kompleks dan semakin ekstremnya kasus, tetapi justru karena daya penanganannya yang belum memadai di seluruh wilayah.

Sedangkan berdasarkan pengumpulan data milik Kementerian PPPA, kekerasan pada anak di 2019 terjadi sebanyak 11.057 kasus, 11.279 kasus pada 2020, dan 12.566 kasus hingga data November 2021.

Pada anak-anak, kasus yang paling banyak dialami adalah kekerasan seksual sebesar 45 persen, kekerasan psikis 19 persen, dan kekerasan fisik sekitar 18 persen.

Sementara pada kasus kekerasan yang dialami perempuan, Kementerian PPPA juga mencatat adanya kenaikan. Dalam tiga tahun terakhir terdapat 26.200 kasus kekerasan pada perempuan.

Pada 2019 tercatat sekitar 8.800 kasus kekerasan pada perempuan, kemudian 2020 sempat turun di angka 8.600 kasus, dan kembali mengalami kenaikan berdasarkan data hingga November 2021 di angka 8.800 kasus.

Jenis kekerasan yang dialami perempuan paling banyak adalah kekerasan fisik mencapai 39 persen, kekerasan psikis 29,8 persen, dan kekerasan seksual 11,33 persen.

Meskipun komitmen kuat pembahasan dan penyelesaian RUU TPKS sudah ditunjukkan pemerintah bersama DPR, publik tentu tetap harus mengawal RUU tersebut, untuk memastikan RUU TPKS betul-betul menjadi payung hukum yang melindungi korban kekerasan seksual.

Baca juga: Wamenkumham: Pasal dalam RUU TPKS tidak tumpang tindih dengan UU lain

Editor: Joko Susilo
Copyright © ANTARA 2022