Banyak laporan dari anggota-anggota AESI menyatakan klien mereka kesulitan memasang PLTS atap karena tidak mendapatkan perizinan dari PLN
Jakarta (ANTARA) - Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) mencatat ada 14 pengaduan dari kalangan industri terkait pemasangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di berbagai daerah.

"Berdasarkan laporan yang masuk dari anggota-anggota kami terdapat laporan 14 pengaduan yang masuk periode November-Desember 2021. Sebanyak 79 persen kasusnya terjadi di Jawa Barat," kata Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa.

Fabby menilai penundaan Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021 yang mengatur pemanfaatan PLTS atap di Indonesia menyebabkan ketidakpastian investasi energi bersih karena banyak pihak terutama perusahaan multinasional mempertanyakan komitmen Indonesia dalam meningkatkan energi terbarukan.

Pemerintah menahan penggunaan regulasi itu karena mempertimbangkan dampak yang akan diterima perusahaan setrum negara PT PLN (Persero), salah satunya perubahan tarif ekspor dari 65 persen menjadi 100 persen yang dianggap bisa merugikan perseroan.

"Banyak laporan dari anggota-anggota AESI menyatakan klien mereka kesulitan memasang PLTS atap karena tidak mendapatkan perizinan dari PLN," ujar Fabby.

Lebih lanjut Fabby menjelaskan bahwa industri-industri di daerah itu kesulitan mendapatkan izin dari General Manager PLN Jawa Barat.

Permohonan izin kepada pimpinan PLN di daerah itu tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 49 Tahun 2018 pada pasal tujuh. Terdapat dua syarat yang harus dipenuhi pemohon untuk memasang PLTS atap, yakni syarat administrasi berupa nomor induk pelanggan dan syarat teknis berupa besaran daya terpasang sistem PLTS atap, spesifikasi teknis peralatan yang mau dipasang, diagram satu garis.

AESI mengungkapkan bahwa industri yang melaporkan pengaduan itu rata-rata ingin membangun PLTS atap sebesar satu sampai dua megawatt. Bahkan, ada proyek pembangkit yang mencapai empat sampai lima megawatt untuk satu perusahaan.

Adapun jenis pengaduan yang mereka sampaikan berupa adanya permintaan dokumentasi atau kajian tambahan saat pengajuan perizinan, proses perizinan yang cukup lama lebih dari 15 hari, dan permohonan izin melalui OSS mengharuskan pemohon untuk memiliki KBLI tertentu.

Fabby menyayangkan bahwa perizinan yang sulit ini dapat berdampak langsung terhadap daya saing investasi energi bersih di Indonesia.

"Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah," pesannya.

Corporate Strategy General Manager Mitsubishi Motors Krama Yudha Indonesia (MMKI) Diantoro Dendi mengungkapkan pihaknya sempat menemui hambatan saat memasang PLTS atap untuk kepentingan pabriknya.

MMKI mengajukan permohonan pemasangan PLTS atap pada April 2021, namun PLN baru merespons permohonan itu sembilan bulan kemudian di Januari 2022.

Saat itu MMKI telah memenuhi berbagai persyaratan dan aspek teknis, kemudian PLN memberikan persyaratan tambahan yang tidak sesuai dengan regulasi tentang PLTS yang tertuang dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2021.

Adapun syarat yang diajukan PLN adalah maksimum kapasitas PLTS atap sebesar 1,75 megawatt peak. Kemudian MMKI dilarang mengoperasikan PLTS atap saat hari libur, dan ekspor listrik hanya 65 persen. Padahal dalam regulasi terbaru yang dikeluarkan Menteri ESDM, syarat-syarat ini tidak ada.

"Kami belum menjawab draft proposal dari PLN sampai kami mendapatkan kejelasan," ujar Diantoro.

Staf Khusus Kementerian Investasi Pradana Indraputra menyampaikan bahwa pihaknya siap membantu industri untuk menghadapi berbagai permasalahan di lapangan baik itu dengan pemerintah daerah maupun kementerian dan lembaga.

Baca juga: Menteri ESDM: PLTS bakal jadi tulang punggung energi bersih Indonesia
Baca juga: Kementerian ESDM terbitkan regulasi PLTS atap, dukung bauran energi
Baca juga: Kadin harapkan adanya percepatan peninjauan regulasi PLTS atap

Pewarta: Sugiharto Purnama
Editor: Faisal Yunianto
Copyright © ANTARA 2022