Jakarta (ANTARA News) - Kepengurusan Dewan Pimpinan Pusat Indonesian National Shipowners’ Association atau INSA periode 2011-2015, kendati baru ketua umumnya saja, telah terbentuk. Kata kolega penulis yang termasuk sesepuh di INSA, sesuai AD/ART, formasi lengkap akan tersusun dalam waktu sebulan pasca terpilihnya Carmelita “Meme” Hartoto setelah mendulang 359 suara peserta Rapat Umum Anggota (RUA) pada 22 Juli lalu di Jakarta.

Sebagai nakhoda baru, Meme mewarisi organisasi yang relatif solid dengan prestasi lumayan bersinar. Yaitu, berkembangnya kembali dunia pelayaran di Tanah Air. Peran INSA dalam pencapaian ini memang cukup signifikan jika tidak mau disebut sangat sentral. Adalah organisasi ini yang menjadi prime mover lahirnya Instruksi Presiden (Inpres) No 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional.

INSA jugalah yang berada dibalik ratifikasi International Convention on Maritime Liens and Mortgage (Konvensi International tentang Piutang Maritim dan Mortgage, 1993) melalui Peraturan Presiden No. 44 tahun 2005. Yang belum berhasil didesak oleh organisasi ini adalah ratifikasi Konvensi Asas Penahanan Kapal atau International Convention on Arrest of Ships, 1999. Mungkin ini bisa menjadi salah satu program Meme dalam masa baktinya.

Dengan Inpres No 5 Tahun 2005 asas cabotage kembali direvitalisasi yang kemudian secara formal diadopsi oleh UU No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Disebut direvitalisasi karena prinsip ini pernah juga diterapkan jauh sebelum masa tersebut seperti yang dapat dilihat dalam UU Pelayaran 1936 atau dikenal dengan istilah Indische Scheepvaartwet.

Menurut UU Pelayaran 1936, "Kapal laut berbendera Indonesia (dahulu berbendera Belanda) berhak melakukan pelayaran pantai atau kustvaart". Yang dimaksud pelayaran pantai adalah penyelenggaraan pengangkutan dengan kapal laut barang-barang yang dimuat dan/atau penumpang-penumpang yang dinaikan di pelabuhan laut atau pelabuhan pantai ke pelabuhan laut atau pelabuhan pantai lainnya, di mana barang-barang tersebut dibongkar, dan/atau penumpang-penumpang diturunkan tanpa memerhatikan rute yang ditempuh.

Dengan demikian, pelayaran pantai dapat pula meliputi pelayaran ke atau dari pelabuhan negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia, seperti Singapura dan Malaysia (M Husseyn Umar dan Chandra Motik Yusuf Jemat, 1992).

Dampak positif upaya INSA dalam mendorong penerapan asas cabotage terlihat dari jumlah kapal berbendera Merah Putih yang saat ini ada. Sejak diberlakukan pada 2005, jumlah armada nasional bertambah 3.000 unit sehingga total kapal nasional mencapai hampir 10.000 kapal.

Galangan kapal
Sayangnya, dari jumlah kapal sebanyak itu hampir seluruhnya tidak dibuat di galangan kapal nasional. Inilah ironi besar dari gemilang prestasi INSA. Ironi karena galangan kapal atau shipyard merupakan “saudara kembar”nya. Jika pelayaran berkembang, sejatinya galangan juga tumbuh. Namun, di Indonesia, pelayaran untung, galangan buntung. Karena, pelayaran tidak memesan kapal dari galangan; kapal-kapal tadi diimpor dari berbagai negara dalam kondisi bekas (second hand).

Memang ada dampak positif yang INSA telah berikan kepada galangan nasional, yakni kue reparasi yang cukup besar. Begitu besarnya, sampai-sampai galangan kewalahan melayani permintaan docking pelayaran. Namun, ternyata berkah ini tidak cukup kuat untuk mengangkat kondisi galangan nasional yang tetap terpuruk. Lihatlah kondisi PT PAL dan PT DKB, dua raksasa dalam industri galangan lokal, mereka masih saja dirundung masalah, malah ada yang terancam gulung tikar.

Sebagai pengusaha, kebijakan mengimpor kapal tidak dapat disalahkan karena jauh lebih murah dibanding membuat di galangan kapal. Apalagi ada kemudahan dalam bentuk pembebasan bea masuk (BM) atas impor kapal. Pembebasan BM inipun merupakan hasil lobi INSA. Di lain pihak, galangan kapal hampir tidak mendapat insentif apapun, sehingga jika pengusaha memesan bangunan baru, harga yang mereka kenakan bisa 2 kali lipat lebih mahal ketimbang membeli bekas atau bahkan membuat baru di galangan Cina atau Korea Selatan.

Ketiadaan insentif untuk galangan kapal tadi diperparah dengan minimnya industri pendukung semisal permesinan, sistem perkapalan (steering umpamanya), dan alat-alat navigasi dan keselamatan penumpang. Jika ditambahkan jenis dan spesifikasi plat baja yang dihasilkan oleh pabrik-pabrik baja di Tanah Air berikut siku-siku khusus untuk konstruksi kapal, maka deretan persoalan yang menghimpit galangan nasional semakin parah.

Pertanyaannya, dengan segala kekurangannya, haruskah pengusaha pelayaran, terutama yang tergabung di INSA, meninggalkan galangan kapal nasional dan (terus) berpaling ke pasar internasional? Haruskah galangan kapal dibiarkan sendirian memperjuangkan nasibnya sementara ia punya saudara kembar yang relatif lebih sukses?

Dengan kepengurusan baru, INSA diharapkan mampu melahirkan pikiran-pikiran brilian untuk mendukung galangan nasional. Publik ingin melihat pelayaran berkembang, galangan kapal pun maju.
(***)


*) Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011