Karena tidak tega membunuh, maka kami hanya melempari kera dengan bebatuan,"
Yogyakarta (ANTARA News)-  Deretan tebing bebatuan kapur menjulang tinggi di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi sarang kera ekor panjang.

Keberadaan satwa liar itu setiap tahun bertambah sehingga meresahkan masyarakat karena merusak tanaman pertanian.

Lompatan-lompatan pendek satwa liar itu terlihat samar di antara rerumputan kering yang hampir menutup tebing.

Matahari hampir menampakkan sinarnya Jumat (19/8) pagi itu, pertanda kawanan kera menuruni tebing menuju ladang sehingga membuat beberapa petani harus berjaga hingga fajar mulai menyingsing.

Para petani di desa setempat telah melakukan beragam cara untuk menghalau serangan kera di ladang-ladang mereka, namun mengalami kegagalan.

Salah satu petani Dusun Kamal, Desa Wunung, Kecamatan Wonosari, Teguh di Wonosari, Jumat, menggiring anjingnya ke ladang untuk menakut-nakuti kawanan kera.

"Anjing saya seringkali terkecoh saat menakut-nakuti kera di ladang. Kawanan kera bergerak cepat dan menyebar," kata dia.

Sejak subuh hingga petang hari, para petani seringkali berjaga-jaga, mengendap-endap dan bersembunyi di balik pepohonan dengan batu di tangan untuk mengusir satwa liar itu.

"Karena tidak tega membunuh, maka kami hanya melempari kera dengan bebatuan," kata dia.

Bagi masyarakat Desa Wunung, serangan kawanan kera di areal pertanian bukan pertama kali terjadi.

Menurut Teguh, serangan kera liar itu terjadi sejak puluhan tahun lalu.

"Kera itu setiap musim kemarau dan musim panen selalu kembali merusak tanaman kami. Kalau tidak dihalau, maka tanaman kami bisa habis dalam beberapa hari," ujarnya.

Petani setempat menurutnya sebenarnya setiap tahun telah berupaya menghalau serangan kera dengan memasang beberapa biji tanaman hasil panen di sekitar ladang.

Namun, petani selalu gagal karena kera itu selalu kembali mencari makan dengan cara merusak areal pertanian.

"Kami biasa menambatkan jagung dan ketela pada tali yang kami pasang di sekitar ladang agar dimakan kera. Namun, satwa dengan jumlah yang selalu bertambah setiap tahun terus merusak tanaman kami," katanya.

Dia mengatakan di tebing Semurup terdapat ratusan ekor kera dengan ciri warna kulit kecoklatan dan berekor panjang.

Satwa pintar itu mampu menguliti jagung, kacang, mencabut ketela pohon sehingga menyebabkan petani merugi jutaan rupiah.

Bahkan, kera yang jumlahnya semakin bertambah itu turun ke pemukiman warga dan sanggup mencuri telur.

Teguh menghitung nilai kerugian akibat serangan kera, yakni sebesar Rp500.000 pada lahan seluas setengah hektare (ha).

"Sebanyak 10 kilogram kacang tanah saya habis dimakan kera, sedangkan ketela pohon mencapai puluhan kilogram," katanya.

Dia mengatakan di dusun tersebut terdapat sebanyak 15 petani yang mengalami kerugian akibat serangan satwa itu sehingga nilai kerugian mencapai jutaan rupiah.

Kondisi yang sama juga dialami warga Kecamatan Saptosari, yang disibukkan dengan ronda malam akibat serangan kera.

Beberapa warga di Dusun Kepek dan Jetis harus bermalam di ladang mereka dan menggunakan senjata tradisional berupa ketapel untuk menghalau serangan kera.

Di Dusun Duwet, Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus, kera mencuri hasil panenan di rumah-rumah warga.

"Tidak hanya hasil panenan yang dicuri, namun kambing milik saya terluka karena digigit kera," kata Sumawan.

Upaya menghalau serangan kera juga dilakukan warga Kecamatan Ponjong dengan cara studi banding ke Kecamatan Samigaluh, Kulonprogo untuk mendapatkan pengetahuan mengurangi populasi kera.

Solusi
Camat Ponjong, Haryo Ambar Suwardi mengatakan warga mendapatkan banyak pengalaman baru untuk mengatasi serangan kera ekor panjang di kabupaten ini.

Dia menuturkan terdapat banyak pilihan solusi mengatasi serangan kera dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

Solusi jangka pendek itu meliputi penanaman pohon talas sebagai makanan kera, membuat jebakan buah nanas yang dicampur dengan temik atau racun celeng untuk menghambat perkembangbiakan kera, dan pengiriman kera ke kawasan penangkaran di Sleman.

Haryo mengatakan, di desa setempat terdapat sebanyak 300 ekor kera yang merusak tanaman pangan sehingga membuat warga rugi puluhan jutaan rupiah.

Ratusan ekor kera itu, kata dia selama ini menempati Gua Song Gilap di Dusun Klumpit, Desa Sumbergiri, Kecamatan Ponjong.

Warga setempat kewalahan mengatasi serangan kera sehingga memilih untuk mengirim kera ke Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman untuk ditangkarkan.

"Kami sudah koordinasi dengan Camat Berbah untuk pengiriman kera itu setelah Lebaran tahun ini," kata Haryo.

Dia mengatakan kera yang dikirim ke Sleman bukan untuk keperluan ekspor, namun penangkaran.

Sebab, jika diekspor, maka harga kera murah, yakni hanya Rp25.000 hingga Rp50.000 per ekor.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan (Dishutbun) Kabupaten Gunung Kidul Anik Indarwati mengatakan populasi kera di kabupaten ini berlebih karena satwa itu bereproduksi sangat cepat mengikuti deret ukur.

Habitat yang tidak seimbang membuat kera terdesak sehingga turun ke pemukiman warga, meliputi di Kecamatan Tepus, Panggang, Paliyan, Semin, Purwosari, Girisubo dan Ponjong.

"Warga yang menanam tanaman pertanian di sekitar perbukitan memicu serangan kera yang semakin bertambah. Kalau manusia tidak serakah, maka serangan kera tidak mungkin terjadi," katanya.

Dishutbun bersama Balai Konservasi Sumber Daya Manusia Provinsi DIY pernah mendatangkan suku badui sebagai pawang untuk mengurangi populasi kera pada 2007 di Kecamatan Saptosari dan Semin.

Suku badui menurut Anik dipercaya mampu berkomunikasi dengan kera dengan memilih kera yang selama ini menjadi hama perusak tanaman.

"Suku itu tidak menangkap keseluruhan kera. Hanya beberapa ekor saja yang dianggap meresahkan masyarakat," katanya.

Metode penangkapan kera melalui suku badui dinilai cukup efektif karena pada tahun tersebut sebanyak 12 orang suku badui mampu menangkap 50 kera ekor panjang dalam sehari.

"Suku badui kami datangkan karena waktu itu kera tidak mempan ditembak orang biasa," katanya.

Selain menggunakan suku badui, BKSDA DIY juga berencana mengekspor kera ke luar negeri dalam waktu dekat.

Kepala Seksi Konservasi Wilayah II BKSDA Sartana mengatakan eskspor kera ekor panjang ke luar negeri akan dipilih sebagai solusi jangka pendek mengatasi populasi kera yang berlebih di kabupaten ini.

"DIY mendapatkan jatah sebanyak 200 kera dan kini masih menunggu hasil pendataan secara menyeluruh di kabupaten ini," katanya.

Ia mengatakan BKSDA akan menyerahkan ratusan kera ekor panjang pada CV. Primako sebagai perusahaan pengeskpor kera yang ada di Jakarta.

"Sebelum diekspor CV. Primako, kera akan melalui proses penangkaran," katanya.

BKSDA kini telah menganjurkan warga menangkap kera ekor panjang karena hasil pengamatan di lapangan menunjukkan keberadaan kera ekor panjang meresahkan masyarakat.

"Warga boleh menangkap kera ekor panjang dengan menggunakan peralatan apapun sehingga tidak ada persyaratan khusus," kata dia.

Ia mengatakan kera ekor panjang atau macaca fasciularis tergolong dalam kelas primata dan tidak langka.

"Satwa liar itu selama ini belum dinyatakan sebagai hewan yang dilindungi sehingga boleh ditangkap," katanya.

Menurut Sartana, masyarakat sebaiknya berkomunikasi dengan kepala dusun dan BKSDA saat melakukan penangkapan satwa itu.

"Kami berharap masyarakat aktif melapor sehingga kami bisa turun ke lapangan untuk membantu warga," kata dia.

Ia mengatakan BKSDA telah melakukan pengamatan dampak kera ekor panjang di perbukitan Dusun Duwet dan Pantai Siung Desa Purwodadi, Kecamatan Tepus belum lama ini, namun belum ada kepastian jumlah satwa itu secara tepat.

"Kera-kera itu cukup cerdik sehingga kami tidak berhasil mendeteksi jumlah kera yang ada di dua tempat itu. Yang pasti jumlahnya selalu bertambah," katanya.

Dia mengatakan BKSDA akan terus melakukan pendataan di lapangan untuk menghitung jumlah populasi kera untuk memperbaharui data sebelum melakukan pengiriman kera ke luar negeri.

Hingga kini, pemerintah kabupaten setempat juga masih menghitung jumlah total kerugian petani akibat serangan ker yang terus meluas ke pemukiman warga di berbagai kecamatan.

Konflik kera dengan manusia yang terus terjadi setiap tahun tidak terlepas dari kerusakan habitat hutan.

Peneliti Laboratorium Satwa liar Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Setyawan Pudiatmoko mengatakan kerusakan habitat hutan memicu kera ekor panjang turun ke pemukiman warga karena satwa itu sulit mencari makanan dan air di hutan saat musim kemarau.

Menurut dia, kera ekor panjang mengalami populasi yang berlebih karena habitat aslinya terganggu.

Jumlah predator atau pemangsa kera di hutan semakin hilang sehingga menyebabkan jumlah kera kian bertambah.

Dengan proses reproduksi yang sangat cepat, kera yang gampang beradaptasi dengan lingkungan semakin bertambah setiap tahun.

?Dahulu ada macan tutul yang merupakan predator kera sehingga mampu mengontrol populasi kera. Kini, habitat hutan semakin rusak sehingga kera semakin terdesak,? katanya.

Serangan kera, menurutnya biasa terjadi selama musim kemarau karena satwa itu kekurangan air di habitat aslinya sehingga turun ke pemukiman warga.

"Saya khawatir kera itu akan menyerang manusia karena cukup agresif saat kekurangan makanan," katanya.
(ANT-293)

Pewarta: Shinta Maharani
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011