Singaraja, Buleleng (ANTARA) - Yayasan Puri Kauhan Ubud di Bali sedang menggencarkan gerakan bersama dalam rangka konservasi air di Pulau Dewata, yang diimplementasikan dalam sebuah program berkelanjutan Sastra Saraswati Sewana Kedua (SSS II) dengan tajuk Toya Uriping Buwana, Usadhaning Sangaskara, yang berarti air sumber kehidupan penyembuh peradaban.

Gerakan konservasi air Yayasan Puri Kauhan Ubud yang bertujuan membangkitkan kesadaran masyarakat terkait pentingnya perlindungan air di tengah krisis yang terjadi akibat perkembangan pariwisata dan industrialisasi itu, sejalan dengan isu keketuaan G20 di Bali pada akhir 2022 yakni isu energi/ekonomi hijau atau ekonomi berbasis penyelamatan lingkungan dan budaya lokal di era digital.

Mengapa yayasan memilih topik air? Jika dicermati bahwa air di Bali bukanlah semata bernilai "air" saja. Air telah menjadi bagian penting dalam sendi-sendi kehidupan baik rohani (niskala) maupun jasmani (sekala). Berbicara air bukan hanya terbatas pada konsumsi dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Lebih dari itu, air telah menjadi bagian penting dalam ritus peradaban manusia Bali sejak dulu kala.

Sejarah peradaban Bali adalah sejarah peradaban air. Agama di Pulau Dewata dikenal dengan nama Gama Tirtha. Air dipercaya sebagai medium penyucian yang menghanyutkan segala kekotoran. Air juga dipercaya sebagai obat yang menyembuhkan segala macam penyakit.

Dalam pengobatan tradisional ala Bali telah dikenal proses penyembuhan dengan perantara air. Air juga juga lokus/sumber amerta"(sari) kehidupan. Teks Asta Dasa Parwa menyebutkan bahwa amerta air kehidupan berada di laut. Selanjutnya oleh para Dewa, amerta disembunyikan di sebuah gunung bernama Somaka Giri.

Keberadaan amerta yang ada di gunung tampaknya mentradisi dalam kehidupan masyarakat di Pulau Dewata. Paling tidak berdasarkan dua teks yaitu Tantu Pagelaran dan Kutara Kanda Dewa Purana Bangsul. Semua upacara (ritual), baik skala kecil sampai yang skala besar ditandai dengan kehadiran tirta (Air) yakni tirta panglukatan. Tirta pembersih, tirta pakuluh, tirta wangsuh pade dan sebagainya.

Bagi masyarakat agraris, air adalah sumber kehidupan. Bali memiliki warisan institusi dan teknologi untuk mengatur tata kelola air yang disebut Subak. Subak akan mengawali masa tanam dengan ritual magpag toya (menjemput air).

Pun demikian, kondisi air di Bali tidaklah sedang baik-baik saja. Harus diakui peradaban air sudah mengalami pergeseran. Jika di masa lalu dalam konteks masyarakat agraris, episentrum utama adalah sumber-sumber air seperti mata air, sungai, dan danau. Sejalan dengan perubahan pada era industri, maka pusat-pusat episentrum sudah bergeser menjadi jalan, bandara, dan sebagainya.

Kondisi tersebut sejalan dengan keadaan dunia saat ini dimana mulai mengalami krisis air, kelangkaan air, debit air berkurang akibat penyedotan tanpa terkendali dan industri air laut. Air yang disucikan juga mulai tercemar oleh limbah dan sampah. Kelangkaan air di beberapa tempat di Bali justru menjadi sumber konflik. Bahkan, lebih parah lagi, air sudah berubah menjadi komoditas yang diperdagangkan.

Yayasan IDEP, sebuah yayasan nirlaba bergerak pada perlindungan air di Bali mencatat bahwa cadangan air di Pulau Dewata berada di bawah 20 persen. Para peneliti telah memberitahukan bahwa kondisi pulau ini akan semakin buruk dan akan terjadi krisis ekologi jika tidak ada tindakan mitigasi dan pencegahan dalam menanggapi situasi tersebut.

Sungai Oos Jadi Pusat Gerakan
Gerakan konservasi air di Pulau Dewata akan mengambil lokus di Daerah Aliran Sungai (DAS) Oos dalam kurun waktu setahun. Yayasan ingin membangun contoh panutan penataan ekosistem sungai berbasis kearifan lokal dan budaya.

"Di Bali sendiri, kesatuan ekologis itu dikenal dengan konsep Segara-Wukir (gunung-laut) yang terintegrasi dan tidak terpisahkan satu dengan yang lain," kata Ketua Yayasan Puri Kauhan Ubud, Dr. Anak Agung Gede Ngurah (AAGN) Ari Dwipayana, S.IP.,M.Si.

Dalam gerakan konservasi Sungai Oos, yayasan mengajak semua kalangan untuk kembali menggunakan pendekatan penataan ekosistem secara holistik-terintegrasi.

"Konservasi air harus terpadu dari hulu sampai hilir sebagaimana muncul dalam konsep Segara-Wukir itu sendiri. Laut dan gunung adalah kesatuan yang tidak terpisahkan.Tindakan di gunung akan berdampak di hilir," kata dia.

Ari menambahkan, siklus air di alam adalah dari laut yang naik menjadi uap air, kemudian turun menjadi hujan di gunung dan mengalir lagi ke laut.

"Susatra kita juga telah memberi tekanan mengenai konsep segara ukir. Ini secara jelas bisa kita lihat dalam Batur Kelawasan. Bahkan ada kewajiban dan tanggung jawab yang harus dipenuhi, agar siklus alam itu berjalan," paparnya.

Ia menjelaskan bahwa sampai saat ini di sepanjang Sungai Oos masih dikenal tradisi ritual Pasihan Batur yang adalah sebuah kearifan lokal mengusung konsep harmoni hulu-hilir.

Menurut Koordinator Staf Khusus Presiden itu, terdapat hampir sekitar 330 subak di Bali bagian selatan, utara dan timur yang selalu menghaturkan persembahan ke Pura Ulun Danur Batur pada saat upacara/ritual di sana.

Eksistensi tradisi tersebut terus hidup di kalangan masyarakat pesisir yang sangat baik yang perlu direvitalisasi. Orang-orang di hilir harus Nawur Karmabandana atau balas budi ke hulu.

"Kalau ada orang dari Batur membawa 'kare' (jenis kacang-kacangan), maka harus ditukar dengan beras. Karena itu kegiatan ini ingin membangkitkan kembali konsep nawur karmabandana, ingin merevitalisasi tradisi pasihan Batur menjadi inspirasi dari gerakan kesadaran konservasi air di DAS Sungai Oos," katanya.

Libatkan Tiga Perguruan Tinggi
Dalam upaya implementasi gerakan konservasi air di Bali itu, Yayasan Puri Kauhan Ubud melibatkan tiga perguruan tinggi yakni Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa, Universitas Hindu Indonesia (UNHI) Denpasar, dan Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri (STAHN) Mpu Kuturan Singaraja.

Ketiga perguruan tinggi itu pun telah menghasilkan kertas akademik berasal dari diskusi terfokus pada tiga perguruan tinggi masing-masing dengan melibatkan para pakar baik praktisi maupun akademisi.

Salah satu perguruan tinggi yakni STAHN Mpu Kuturan Singaraja telah menyiapkan sembilan program rencana aksi untuk mendukung kegiatan Sastra Saraswati Sewana 2022 yang digelar Yayasan Puri Kauhan Ubud.

Ketua STAHN Mpu Kuturan Singaraja, Dr. Gede Suwindia, S.Ag., M.A., mengatakan bahwa STAHN akan memusatkan program konservasi air di wilayah Danau Tamblingan dan Hutan Mertajati di empat desa yakni Munduk, Gobleg, Gesing dan Umejero.

Ia mengatakan di kawasan tersebut terkandung banyak fakta-fakta unik dan menarik, terutama bagaimana masyarakat penyanggah dan sekitarnya memuliakan air sebagai sumber kehidupan masyarakat. Danau Tamblingan dan Hutan Mertajati sendiri merupakan sumber air bukan hanya di wilayah Kabupaten Buleleng semata, tetapi juga Tabanan dan daerah sekitarnya.

Menurut Suwindia, para pihak harus memiliki jembatan antara ide besar dengan aksi yang akan dilakukan di lapangan. Adapun aksi itu mulai dari penyamaan persepsi, penyamaan paradigma termasuk strategi.

Terlebih selama ini, kata dia, sering terjadi benturan antara ide dan juga niat baik dengan cara mengeksekusi karena kurangnya strategi yang tepat.

Selain itu, perlu juga dilakukan pengaturan anggaran khusus untuk empat desa penyanggah sebagai penyelenggara pujawali (ritual) di Tamblingan, kemudian menjadikan Tamblingan sebagai kawasan suci dan rekreasi yang diizinkan adalah kepentingan yoga-retreat dengan mengutamakan wisata keheningan. "Termasuk juga perlu adanya kesadaran kolektif menjaga Kawasan Hulu sebagai sumber air," papar Suwindia.

Dari rekomendasi tersebut, lanjut Suwindia, STAHN Mpu Kuturan telah menyiapkan sembilan rencana aksi untuk dilaksanakan di Kawasan Penyangga Danau Tamblingan.

Sembilan rencana aksi itu yakni penerapan pembelajaran berbasis kurikulum eko-pedagogi di sekolah, pelaksanaan KKN (Kuliah Kerja Nyata) berbasis eko-pedagogi, melakukan kegiatan adopsi pohon di Kawasan Danau Tamblingan dan Hutan Mertajati, mendukung Desa Wanagiri mewujudkan pasraman pembelajaran tumbuhan upakara dan kepanditaan.

Selain itu, STAHN juga akan melakukan pelatihan Bahasa Inggris untuk kalangan pemandu wisata pada kelompok sadar wisata yang berbasis eko-teologi, inisisasi aturan adat (perarem) pelestarian lingkungan bagi desa adat, edukasi terhadap Kelompok Jaga Wana di kawasan hulu sebagai penjaga hutan, membuat konten dan pendokumentasian simpul-simpul air yang ada di Tamblingan.

"Rencana aksi ini sudah pasti akan kami laksanakan. Tidak hanya STAHN Mpu Kuturan sendiri. Kami akan tetap menggandeng pihak-pihak yang memang peduli terkait konservasi lingkungan karena memang era sekarang adalah era kolaborasi," tegas Suwindia.

Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2022