“Harus ada proporsi antara tenaga kesehatan dengan penduduk. Itu kan kita masih kurang sekali, klinik atau puskesmas itu juga masih kurang,”
Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) mengatakan proporsi antara infrastruktur kesehatan dan jumlah warga yang tidak seimbang menyebabkan sulitnya negara atasi permasalahan gizi pada anak.

“Harus ada proporsi antara tenaga kesehatan dengan penduduk. Itu kan kita masih kurang sekali, klinik atau puskesmas itu juga masih kurang,” kata Plt. Deputi Bidang Pengendalian Penduduk BKKBN Dwi Listyawardani saat dihubungi ANTARA melalui telepon di Jakarta, Senin.

Menanggapi masih banyaknya anak yang terkena permasalahan gizi di Indonesia, Dia mengatakan sejumlah komponen dalam infrastruktur kesehatan yang dibangun di suatu daerah, terkadang belum bisa mengimbangi besarnya jumlah populasi yang ada.

Salah satu komponen itu adalah tenaga kesehatan yang berjaga baik di puskesmas ataupun posyandu yang disediakan. maksimal. Seperti pada kasus di Jawa Barat, Dani menyebutkan jumlah penduduk berkisar 50 juta jiwa sedangkan fasilitas kesehatan dan pelayanan administrasi baru tersebar di sekitar 6 ribu desa.

Akibatnya, status dan kondisi gizi anak tidak bisa terpantau secara maksimal dan pemberian edukasi mengenai gizi anak pada orang tua tidak bisa tersampaikan dengan baik secara rutin. Termasuk pemberian imunisasi dasar yang terhambat, apalagi dengan adanya COVID-19 yang membuat banyak keluarga jarang datang untuk melakukan pemeriksaan.

“Apalagi di Indonesia Timur. Bukan masyarakat yang tidak mau ke fasilitas kesehatan, tapi tenaga kesehatannya saja yang tidak ada. Sama seperti KB, unmet need di sana tinggi sekali karena orang sudah mau ber-KB tapi tidak ada yang bisa melayani,” ucap dia.

Menurut Dani, Indonesia sebenarnya sudah memiliki banyak sekali dokter, perawat ataupun kader-kader yang dapat dikerahkan di seluruh pelosok Tanah Air. Hanya saja, terkadang kondisi seperti keamanan, kenyamanan dan stabilitas di sebuah daerah tak menunjang kinerja mereka.

“Banyak dokter ada di kota, tapi yang mau dimutasi jarang. Awalnya yang mau banyak tapi akhirnya tidak betah karena berbagai hal. Kalau misalnya di tempatkan di pedalaman, tapi suasananya tidak aman? kan ada saja yang menimbulkan hambatan kemanusiaan. Tidak bisa salahkan mereka juga,” ujar dia.

Dani mengaku pemerintah tak bisa berdiam diri dengan semua strategi yang dirancang saja. Perlu ada intervensi yang lebih masif digencarkan dalam menyelesaikan kondisi itu.

Oleh sebab itu, agar data yang didapatkan dapat lebih spesifik di tengah keterbatasan infrastruktur tadi, pada bulan Februari ini status tumbuh kembang semua anak balita di Indonesia akan diukur, termasuk status gizi.

“Pengumpulan data sebelumnya sudah kita kumpulkan melalui PK 2021, jadi pemetaan keluarga sudah ada, sudah terkumpul. Ditambah data ini nantinya akan ada data baru untuk status gizi anak di seluruh Indonesia. Kemudian data tersebut kita gabung interoperability antar sumber data, baru kita menyasar pada bidikan yang sama,” kata dia.
Baca juga: BKKBN minta keluarga bijak gunakan bantuan PKH untuk penuhi gizi anak
Baca juga: Cukupi gizi anak lewat beragam makananBaca juga: Ibu hamil jangan lupa penuhi kebutuhan yodium


Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2022