Saya sebagai generasi penerus melanjutkan agar tetap lestari
Denpasar (ANTARA) - Seorang pelukis wayang klasik Kamasan, Wayan Pande Sumantra tak pernah menyurutkan talentanya membuat karya seni di tengah pandemi COVID-19, dan berharap melalui kegiatan nasional dan internasional di Pulau Dewata,  mampu membangkitkan pelaku usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).

"Saya berharap melalui kegiatan nasional dan internasional, seperti ajang Presidensi G20 dan putaran kedua BRI Liga 1 di Bali sejak bulan Januari 2022 lalu menjadi angin segar dan harapan bagi roda pergerakan pelaku usaha di Bali, khususnya UMKM untuk membangkitkan perekonomian akibat pandemi," kata pemilik Sanggar Sinar Pande, Wayan Pande Sumantra di Klungkung, Bali, Senin.

Wayan Sumantra bersama istrinya Made Sinarwati sejak tahun 1997 hingga sekarang memproduksi kerajinan khas daerah Desa Kamasan, Klungkung khususnya kerajinan yang bercorak lukisan tradisional wayang Kamasan.

Pria kelahiran 56 tahun lalu menjelaskan, jenis produknya kerajinan, antara lain alat-alat upacara, kipas, tas, sandal, kap lampu tidur, kipas wayang berbahan kayu, keben (tepat sesaji) bermotif wayang kamasan, kipas wayang kain, gantungan kunci dan produk lainnya dengan tetap bertema lukisan Wayang Kamasan yang layak dijadikan sovenir.

Wayan Sumantra punya obsesi dan misi mulia untuk menunjang keberlangsungan sanggarnya, saat ini sanggar miliknya membimbing 35 anak usia dini secara sukarela tanpa memungut biaya apa pun untuk belajar melukis dan mewarnai di rumah yang ia jadikan sanggar itu.

Ia mengatakan keberadaan sanggar ini bertujuan untuk pelestarian seni lukis tradisional wayang Kamasan. "Kami ingin mencetak generasi penerus seni lukisan wayang Kamasan. Semua anak-anak belajar disini gratis. Saya bersyukur ada anak-anak mau belajar seni lukis tersebut," katanya.

Wayan Sumantra menuturkan sejak pandemi COVID-19 pendapatannya jauh menurun. Dulu ada saja pesanan untuk membuat souvenir. Bahkan sebelum pandemi kunjungan ke sanggarnya cukup ramai.

"Jadi yang berkunjung dari berbagai kalangan, siswa, mahasiswa, wisatawan maupun kolektor seni lukis. Namun sekarang sejak pandemi belum ada," ucapnya.

Karya kerajinan Wayan Sumantra terus berkembang dimulai dari hanya menjual produk lukisan Wayang Kamasan bertema cerita perwayangan seperti Mahabharata, Ramayana, dan Dewa Dewi.

Dikatakannya wayang Kamasan ini banyak disukai kolektor, optimistis ke depannya. Keberadaan wayang Kamasan sudah ada dari zaman kerajaan di Puri Gelgel, kami menampilkan cerita pewayangan untuk memetik filsafat kehidupan dari cerita yang digambarkan.

Wayan Sumantra menuturkan sudah menekuni kesenian Wayang Kamasan sejak usia sekolah dasar dengan belajar secara otodidak dari pamannya, demi membantu orang tua.

"Saya sejak kelas 4 SD diajarkan paman saya yang merupakan maestro Wayang Kamasan alamarhum I Nyoman Mandra. Saya melukis, usia SMP saya sudah bisa menjual sketsa lukisan ke ibu-ibu rumah tangga di lingkungan tempat saya tinggal," katanya.

Baca juga: Ada wayang berusia 300 tahun di Desa Kamasan-Klungkung

Baca juga: Bali jadi tuan rumah Festival Wayang Internasional 2020


Maestro pelukis Kamasan

Sejak Nyoman Mandra, pamannya yang juga maestro pelukis klasik wayang Kamasan meninggal,  Wayan Sumantra semangat untuk mendirikan sanggar, karena seni lukisan tak boleh hilang dari peradaban zaman. Seni lukis tradisional ini harus ada generasi penerusnya dan dilestarikan sebagai warisan budaya leluhur.

"Wayang Kamasan sudah ada dari zaman dulu, bahkan zaman kerajaan Klungkung sudah ada. Saya sebagai generasi penerus melanjutkan agar tetap lestari. Saya kerap diundang Dinas Kebudayaan dalam hal pelestarian dan pengenalan budaya wayang Kamasan melalui pameran khusus, satu-satunya di Bali bahkan dunia hanya di sini," ucapnya.

Ia mengatakan dalam pelestarian seni lukis Kamasan, kalau bukan kita, siapa lagi yang memperjuangkan, salah satunya dengan cara membuat sanggar lukis agar bisa menarik anak-anak di desa belajar seni lukis tersebut," kata dia.

Menyinggung lukisan Kamasan, kata dia, lukisannya sudah tersebar di Tanah Air, bahkan ke sejumlah negara di dunia, seperti, Asia, Eropa dan Amerika Serikat.

Untuk pemasaran produk kerajinan, tidak hanya terbatas di pasar lokal saja, Pande juga merambah pasar nasional Indonesia bahkan sampai ke mancanegara seperti Eropa dan Amerika.

Wayan Sumantra mengaku pihaknya aktif mengikuti pameran-pameran yang diadakan oleh kabupaten dan Provinsi Bali melalui Pesta Kesenian Bali (PKB) serta mengikuti pameran ke beberapa kota seperti di Istana Negara Jakarta, Taman Mini Indonesia Indah dan Kota Bandung serta pameran menjelajah ke luar negeri ke Belanda dan Kanada.

Karya seni Wayan Sumantra dijual mulai dari ratusan ribu rupiah hingga puluhan juta rupiah berdasarkan varian jenis karya, bahan kayu dan kain, besar kecilnya lukisan, penokohan, hingga tingkat kerumitan pekerjaan.

Baca juga: Sanggar Paripurna Bona pentaskan wayang golek modern dengan animasi

Baca juga: Seni lukis wayang kaca Buleleng diusulkan jadi warisan budaya nasional


Daftarkan WBTB

Bahkan, keberadaan lukisan klasik Wayang Kamasan diusulkan oleh pemerintah pusat sebagai Warisan Budaya Tak Benda (WBTB) pada Intangible Cultural Heritage (ICH) United Nations Educational Scientific and Cultural Organization (Unesco).

Pendaftaran WBTB pada ICH Unesco dilaksanakan dua tahun sekali. Dan satu negara hanya bisa mengusulkan satu WBTB. Seni lukis klasik Wayang Kamasan merupakan seni lukis yang berkembang dari Desa Kamasan Kabupaten Klungkung.

Seni lukis ini diyakini sudah berkembang pada zaman Kerajaan Gelgel pada abad ke-14. Saat ini lukisan Wayang Kamasan masih bisa ditemui pada ornamen di plafon bangunan peninggalan, yakni di Bale pertemuan Kerta Gosa. Sejarah seni lukis di Bali bermula di sebuah desa bernama Kamasan di Kabupaten Klungkung. Pada abad ke-14 sampai abad ke-18, Bali berada di bawah kekuasaan raja-raja keturunan Sri Krisna Kepakisan dari Kerajaan Majapahit. Adalah salah satu raja Kepakisan, yaitu Sri Waturenggong, yang pada suatu hari di abad 15 dihadiahi sekotak wayang oleh Kerajaan Majapahit.
 

Karena terpesona dengan keindahan wayang-wayang tersebut, sang raja kemudian memerintahkan para pelukis istana melukisnya secara massal untuk disebarluaskan ke seluruh Bali agar masyarakat pun dapat ikut mengagumi keindahan wayang-wayang tersebut.

Sehingga terobsesinya dengan lukisan wayang Kamasan, langit-langit Gedung Kertha Gosa yang menjadi pusat pemerintahan Kerajaan Gelgel di Klungkung pun diperintahkan untuk dilukis mural wayang Kamasan dengan kisah-kisah legendaris, seperti perjalanan Bhima ke Swarga Loka atau kisah Ni Diah Tantri yang diambil dari Wayang Tantri, wayang tradisional Bali.

Lukisan klasik wayang Kamasan menggunakan pewarna alami, seperti warna cokelat muda dari batu gamping, hitam dari jelaga lampu minyak, dan putih dari tulang babi atau tanduk rusa yang dihancurkan menjadi bubuk.

Sementara bahan kanvas yang digunakan adalah kain kasar. Kain ini kemudian dicelup dalam bubuk bubur beras dan dijemur di bawah sinar matahari guna menutup dan meratakan permukaannya.

Setelah kering, permukaannya digosok agar lebih halus, barulah dapat dimulai proses melukis dengan membagi seluruh kanvas menjadi beberapa bidang untuk menempatkan setiap gambar wayang dan unsur lainnya. Karena memiliki cerita yang jelas, lukisan ini pun terlihat unik dan indah.

Lukisan wayang Kamasan mengalami masa keemasan pada abad ke-16 di bawah pemerintahan Kerajaan Gelgel. Ketika itu cerita yang banyak dilukis diambil dari epik Ramayana dan Mahabharata, dengan membuat tak ada bagian kanvas yang kosong.

Baca juga: Seniman Bali-Singapura tampilkan kolaborasi wayang inovatif

Baca juga: Teatrikal "wayang ental" pukau penonton "Bali Nawanatya"

 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022