Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Jepang telah menggelontorkan pinjaman untuk pemberdayaan industri maritim nasional senilai 400 juta dolar AS. Sayangnya komitmen ini terganjal birokasi dalam negeri yang masih belum memutuskan siapa yang akan bertindak sebagai penyalur dan penerima alias debitur dana tersebut.

Seorang petinggi level direktur di Kementerian Perhubungan berpendapat, PT PANN diharapkan dapat bertindak sebagai penyalur mengingat perusahaan itu memiliki pengalaman yang cukup (Bisnis, 15 Agustus).

PT PANN memang memiliki pengalaman dalam bidang pembiayaan kapal (shipfinancing) karena BUMN yang didirikan 1974 ini memang misi utamanya adalah di bidang pembiayaan kapal. Misi ini salah satunya tercermin dari namanya: Pengembangan Armada Niaga Nasional atau disingkat PANN.  

Namun seiring perjalanan waktu ada perubahan yang cukup mendasar di tubuh perusahaan tersebut. Dikaitkan dengan kemungkinan menjadi penyalur kredit dari Negeri Sakura sebesar 400 juta dolar AS, perubahan PT PANN tadi bisa jadi sedikit-banyaknya akan memengaruhi kinerjanya.

Perubahan misi
PT PANN didirikan oleh pemerintah era kepemimpinan Presiden Soeharto sebagai alternatif lembaga keuangan non-bank yang bergerak di bidang pembiayaan kapal, dengan tujuan untuk mengembangkan pelayaran nasional. Adapun mekanisme penyaluran dana adalah dengan model leasing, purchase on installment, dan sale and lease back.

Karena lembaga khusus untuk bisnis pelayaran, diharapkan suku bunga yang ditawarkan oleh perusahaan ini kepada debiturnya kompetitif dibanding yang ditawarkan oleh bank. Salah satu yang menjadi program PT PANN adalah proyek kapal kargo Caraka Jaya Niaga.

Namun, pada 1991, dengan alasan untuk membiayai berbagai jenis barang modal, PT PANN mengubah namanya menjadi PT PANN Multi Finance. Kebijakan ini bertahan hingga 2004. Selama tiga belas tahun perusahaan ini disebut-disebut terlibat dalam pembiayaan pengembangan lapangan golf hingga industri penerbangan (IPTN). Hanya secuil, kalau tidak mau disebut tidak ada sama sekali, dari dana yang mereka miliki dialokasikan kepada bisnis pelayaran (ini kata teman penulis yang seorang owner dan operator kapal).

Pada 2004, dengan alasan bisnis pembiayaan niaga ternyata menguntungkan PT PANN kembali fokus pada core business-nya sebagai perusahaan pembiayaan kapal. Hal ini diperkuat dengan komitmen kredit perbankan kepada PT PANN. Salah satunya dari Bank BRI. Sejak 2007, bank pelat merah ini telah memberikan kredit jutaan dolar AS kepada PT PANN yang selanjutnya dikucurkan kepada perusahaan pelayaran.

Memang sejak 2005, pasca pemberlakuan Instruksi Presiden (Inpres) No 5 Tahun 2005 Tentang Pemberdayaan Industri Pelayaran Nasional, dunia pelayaran memang menggeliat. Dengan Inpres No 5 Tahun 2005 asas cabotage kembali direvitalisasi yang kemudian secara formal diadopsi oleh UU No 17 Tahun 2008 Tentang Pelayaran.

Telah diratifikasi pula International Convention on Maritime Liens and Mortgage (Konvensi International tentang Piutang Maritim dan Mortgage, 1993) melalui Peraturan Presiden No. 44 tahun 2005. Yang belum diratifikasi adalah Konvensi Asas Penahanan Kapal atau Internationaal Convention on Arrest of Ships, 1999. Jika aturan main yang terakhir bisa diratifikasi oleh Indonesia, maka lengkaplah sudah aspek legal pembiayaan kapal di Tanah Air. Kalangan perbankan, termasuk lembaga pembiayaan, tidak perlu khawatir lagi dalam memberikan kredit kepada perusahaan pelayaran. Dan, berhenti menganggap industri ini berisiko tinggi.

Diperkirakan  dalam 10 tahun ke depan, kebutuhan kapal baru di Indonesia meningkat tajam. Diperkirakan ada 5.000 unit kapal yang harus disediakan selama periode tersebut, baik baru maupun bekas. Menurut data Indonesian National Shipowners’ Association (INSA), bisnis pelayaran nasional butuh sekitar 2.7 hingga 3.38 miliar dolar AS untuk pengadaan kapal baru/bekas dalam beberapa tahun ke depan.

Dari sisi bisnis, perubahan misi PT PANN tadi mungkin sah-sah saja. Tetapi tetap saja perlu dikritisi. Publik perlu mempertanyakan kepada PT PANN seputar nasib proyek Caraka Jaya III dimana perusahaan ini merupakan leading sector-nya. Pemerintah berpotensi merugi AS$ 98,41 juta akibat 14 unit kapal eks-Caraka Jaya III, yang diimpor dari Jepang dan Jerman 14 tahun lalu, terancam menjadi besi tua.
 
Karena itu, mumpung angin perubahan sedang berpihak kepada bisnis pelayaran nasional alangkah bijaknya jika diadakan audit yang menyeluruh terhadap kinerja PT PANN, terutama pada periode ketika perusahaan itu berada di luar bisnis intinya sebagai perusahaan pembiayaan khusus kapal.

Diharapkan dengan adanya audit persoalan sesungguhnya yang ada di dalam PT PANN dan kaitannya dengan upaya BUMN itu turut serta dalam pemberdayaan pelayaran dalam negeri dapat dipetakan dengan baik. Sehingga, wacana pendirian bank khusus maritim yang digulirkan oleh sebagian kalangan pemerhati kemaritiman bisa diwujudkan dengan cukup meng-upgrade PT PANN tanpa perlu membuat lembaga baru.

Mendirikan lembaga baru berarti mengeluarkan biaya modal baru, kantor baru dan merekrut orang-orang baru. Terlepas dari persoalan yang meliputinya, harus diakui PT PANN merupakan perusahaan yang telah berpengalaman dalam bidang pembiayaan.

Sayang rasanya jika tidak dipergunakan sebagaimana mestinya. Yang perlu dilakukan hanyalah mengaudit agar tercipta satu perusahaan yang akuntabel, transparan dan layak dijadikan mitra oleh perusahaan pelayaran nasional yang selalu menghadapi kendala pembiayaan untuk pengadaan armadanya. (****)

*) Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2011