Garut, (ANTARA News) - Kondisi lingkungan di kawasan lereng gunung Guntur di Kabupaten Garut, Jawa Barat, semakin memprihatinkan, menyusul kerap terjadinya hujan lebat disertai angin kencang. Kondisi itu, kian diperparah dengan rusaknya ekologi sekitarnya akibat penggalian pasir serta pasir batu (Sirtu), demikian hasil pemantauan ANTARA di lokasi, Minggu. Salah-satu Deputi dari Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH), Dodi Poetranto, belum lama ini mengatakan, akibat penggalian Sirtu itu, maka upaya penanggulangan masalah tersebut selain perlu dilakukan kegiatan reklamasi. "Selain itu, juga perlu pembuatan kantong-kantong lahar yang memadai, dan upaya untuk mengalihkan profesi penggali pasir atau anak jalanan gunung Guntur (Ajag)," katanya. Masyarakat perkampungan sekitar lereng gunung tersebut yang ditemui mengaku, sejak sepekan terakhir acap dihantui perasaan khawatir, terutama jika cuaca mulai mendung yang kemudian disertai turun hujan lebat. "Kami was-was jika terjadi longsoran lahar dingin serta batu dari atas gunung itu," kata beberapa warga Kampung Pasawahan dan Dukuh termasuk Sudir(34), Minggu sore (5/2). Dari pemantauan di lokasi lereng gunung dan harapan warga, merka menginginkan masih perlunya banyak dibangun konstruksi kantong-kantong lahar (cekdam) sebagai penampung dan penahan longsoran jika terjadi bencana alam, sekaligus dilakukannya kegiatan reklamasi pada sejumlah bekas penggalian pasir serta sirtu. Kawasan gunung itu di bawah naungan dan pengawasan Perum Perhutani dan Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), yang masing-masing memiliki areal kewenangannya seluas 500 ha dan 250 ha, meski sejauh ini belum memiliki kejelasan batas-batas topografi pengelolaannya. Gunung Guntur merupakan salah-satu dari sebanyak 17 gunung api aktif di Provinsi Jawa Barat berketinggian 2.249 meter di atas permukaan laut atau 1.550 meter di atas permukaan sungai Cimanuk. Sejak tahun 1690 hingga tahun 1847 sekurang-kurangnya telah terjadi sebanyak 20 kali letusan, dengan periode istirahat terpendek antara dua letusan berlangsung selama satu tahun dan sepanjang 87 tahun dalam periode rentang waktu 87 tahun. Sejak sekitar tahun 1986-an berlangsung kegiatan penggalian pasir yang mulai cukup gencar dan kini banyak menyisakan bongkahan-bongkahan lubang termasuk kolam-kolam berkedalaman setinggi dua meter lebih, kemudian terpenuhi air hujan yang kerap menggenanginya sehingga cukup membahayakan. Sedangkan bongkahan bekas penggalian juga nyaris tersebar pada seluruh kawasan bagian lereng yang kini banyak ditinggalkan para penggalinya karena dianggap tidak potensial, kemudian mereka mencari lokasi baru secara acak. Kegiatan penggalian pasir bukan berarti tanpa alasan. Selain menjadi tumpuan pendapatan sebagian masyarakat sekitarnya, juga termasuk dijalani kalangan anak muda tamatan SLTA yang tidak bisa meneruskan ke perguruan tinggi serta sulit mencari lapangan pekerjaan.(*)

Copyright © ANTARA 2006