Jakarta (ANTARA) - Seniman Otty Widasari membuat pameran solo "Partisan" yang mencoba untuk melihat kembali gagasan tentang kesadaran media dan bagaimana aspek performativitasnya dapat dikelola menjadi sebuah aksi bersama dalam membingkai, melakukan pembesaran, dan distribusi pengetahuan secara inklusif.

Pameran dibuka pada 8 Maret di Galeri Nasional Indonesia dan akan berlangsung pada 9 Maret hingga 8 April 2022.

Kepala Galeri Nasional Indonesia Pustanto mengatakan, Otty Widasari merupakan salah satu seniman penting dalam perkembangan seni kontemporer Indonesia, begitu pula dengan praktik keseniannya.

“Dengan multibackground-nya, praktik kesenian dan karya-karya Otty menjadi kaya narasi. Otty berhasil mendekatkan seni rupa dengan keseharian masyarakat, membuat masyarakat merasakan secara langsung pengaruh seni dalam kehidupan mereka. Karena itulah karya yang ditampilkan dalam ruang pameran menjadi satu hal yang menarik, dan proses bagaimana karya itu dibuat dengan melibatkan warga menjadi hal menarik lainnya," kata Pustanto dalam siaran resmi, Sabtu.

Dia berharap pameran ini memberikan kesempatan kepada publik untuk mengenal lebih dekat sosok Otty Widasari, sekaligus memicu munculnya gagasan dan praktik-praktik kesenian lainnya yang mampu mendekatkan seni dengan masyarakat.

Baca juga: Menemukan karya anak bangsa di luar "rumah sendiri" lewat pameran

Pameran tunggal ketiganya ini menjadi semacam konklusi dari proyek dua pameran tunggal sebelumnya: ”Ones Who Looked at the Presence” (2015) dan “Ones Who Are Being Controlled” (2016) yang keduanya dikuratori oleh Manshur Zikri. Pada proyek sebelumnya, Otty membedah bagaimana kedatangan teknologi media baru yang dibawa oleh kolonial menggugah gestur subjek terhadap kamera, dan selanjutnya bagaimana directing bekerja antarsubjek perekam dan yang direkam. Lewat aksi melukis dalam proyek sebelumnya, Otty meletakkan arsip filem kolonial ke lanskap situasi bermedia hari ini dan di sini.

Solo Exhibition Otty Widasari “Partisan” yang dikuratori oleh Luthfan Nur Rochman ini mencoba membingkai kerja-kerja Otty Widasari selama hampir dua dekade secara konseptual. Berbasis praktik menggambar, memfasilitasi pengetahuan, dan obrolan sehari-hari; karya-karya video, teks, dan performance yang dihadirkan pada pameran tunggal Otty kali ini menjadi tawaran untuk publik dalam merefleksikan keseharian, pertemanan, dan keberdayaan warga yang dilengkapi oleh teknologi media hari ini; menyimpan potensi untuk mengetahui dan mengurai hal-hal yang terjadi sebenarnya di balik narasi monolitik.

Luthfan Nur Rochman menuturkan, “Saya berharap lewat pameran ini publik dapat melihat bahwa selain kerja studio dan artefak seni jadi, ada tawaran praktik artistik lain yang membuka partisipasi dari masyarakat dan bahwa narasi keseharian mereka juga sepenting narasi para seniman-seniman yang selama ini dianggap jenius.”

Otty berangkat dari kesadaran bahwa media menjadi kunci penting dalam membaca bagaimana peradaban bekerja. Perkembangan teknologi media memengaruhi bagaimana narasi diciptakan, dibentuk, dikomunikasikan, hingga diestetisasi untuk warga. Kendali narasi itu, yang baik oleh rezim, konglomerat, dan oligarki, diperlakukan sebagai corong narasi yang telah diseleksi sesuai kepentingan ideologi dan kapitalnya. Namun, teknologi media membawa optimisme yang membuka kemungkinan inklusivitas dan vernakularitas dari media: bersatunya alat perekam dan proyeksi/presentasi dan berbagai kemungkinan distribusinya. Babak baru dalam sejarah media ini menjadikan warga yang sebelumnya mengkonsumsi menjadi seorang produser. Para gatekeeper atas pengetahuannya pun runtuh, warga bebas dari referensi historis maupun teknologis atas perangkat tersebut.

Titik belokan dari praktik artistik dan aktivisme Otty Widasari dapat dilihat semenjak berdirinya Forum Lenteng, dan proyek yang ia pimpin dan kerjakan sampai sekarang, Akumassa. Sebagai kelompok studi yang berangkat dari mempelajari isu sosial budaya di masyarakat lewat perkembangan seni dan media, Forum Lenteng meniatkan Akumassa sebagai tahap diseminasi lanjut dari kajiannya sekaligus memperluas jejaringnya. Akumassa berangkat dari program pemberdayaan masyarakat lewat media di berbagai lokasi di Indonesia.

Bertolk dari situasi bermedia tersebut, Akumassa menjadikan narasi warga sebagai suara jenial atas sebuah lokasi tempatnya tinggal, mengaktivasi agensi mereka untuk berbicara tentang persoalan sehari-hari yang bersumber dari masalah sistemik hingga sejarah yang panjang atas sebuah lokasi. Cara kerjanya dipandu oleh produksi, pengarsipan, dan distribusi pengetahuan yang egaliter, independen dari kuasa media maupun sistem yang mapan.

Akumassa seolah menjadi sebuah metode dan bingkai kerja bagi Otty untuk dapat membongkar kegagapan wacana besar seperti modernisme dalam praktiknya di situs-situs yang enggan dibaca oleh pandangan monolitik media arus utama. Otty lebih lanjut mendapati bahwa ranah wacana publik yang serius dan monumental seperti kolonialisme dan narasi tentang permainan ekonomi di pusat dapat berpindah dari diskusi akademik menuju perbincangan antar warga dengan bersama-sama mengorkestrasi tubuh-tubuh, baik di lokasi, maupun tubuh yang bermedia sosial, dengan pengetahuan lewat pembingkaian. Ini menjadi usaha Otty untuk mendudukkan sejarah dan pengetahuan sebagai kontestasi tanpa henti atas klaim-klaim agensi manusia yang membentuk peradaban. Otty berhasil merebut itu lewat metodologi riset dan eksekusi artistiknya, yang berakar dari cara mengetahui secara hari ini dan di sini.

Baca juga: Galeri Nasional kembali gelar Pameran MANIFESTO

Baca juga: Galeri Nasional hadirkan "Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak"

Baca juga: Galeri Nasional produksi dokumenter tokoh seni rupa Heri Dono

Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022