Jakarta (ANTARA News) – Mendarat di Mogadishu, ibukota Somalia dari Nairobi (Kenya), Selasa (30 Agustus 2011) siang, "Indonesia ACTion Team for Somalia" langsung beraksi di tiga titik pengungsian di Mogadishu City.  Tepat di hari Idul Fitri yang jatuh pada hari Selasa di Somalia, tim berlebaran bersama pengungsi di kamp Waaberi, Mogadishu.

Siaran pers lembaga kemanusiaan Aksi Cepat Tanggap (ACT), di Jakarta, Kamis, bahwa Andhika Purbo Swasono, anggota tim melaporkan dari Mogadishu, di kamp bekas RS Unicef ini hidup lebih dari 260 KK pengungsi. Kondisi bangunan sendiri porak poranda akibat perang. Para pengungsi tinggal dengan fasilitas seadanya. Tanpa alas tidur memadai, kecuali tikar tipis.

"Meski tak ada data detail, tampak jelas bahwa mayoritas mereka adalah anak-anak. Water and sanitation sangat minim, sehingga seorang anak kudu pup di pinggir jalan," kata Andhika.

Para pengungsi di sini dilayani oleh sebuah feeding center (dapur umum) di Waaberi, tepat di seberang kamp. Mereka masak dua kali sehari dengan empat panci alumunium besar. Diperkirakan cukup untuk 500 jiwa sekali masak. Umumnya mereka masak nasi campur daging, makanan umum di sini.

"Namun tidak disediakan sayur dan buah-buahan sehingga banyak kasus sariawan ditemukan," ujar Andhika.

Kamp pengungsian lain yang tim datangi adalah kamp Jeyte. Lebih dari 180 KK tinggal di sini, termasuk di antaranya tak kurang 110 anak-anak. Kondisinya hampir mirip dengan kamp di bekas RS Unicef tadi. Hanya saja, mereka tinggal di dalam tenda-tenda berbentuk mirip doom dengan ketinggian maksimal 1,9 meter dan diameter kurang dari 1,5 meter.

"Tenda sesempit ini bisa ditinggali hingga 7 jiwa, orang tua dan anak-anak," papar Andhika.

Kamp Jeyte menempati lahan yang tidak terlalu luas. Tenda mereka sangat sederhana, dari kayu-kayu yang dikaitkan satu sama lain, lalu ditutupi terpal.

"Mirip dengan bivak jika kita kemping. Tenda di kamp Dagahaley, Dadaab, Kenya, yang sebelum ini kami kunjungi masih lebih baik. Kamp ini berpotensi rubuh jika angin bertiup sangat kencang karena ikatannya tidak kencang," tutur Andhika.

Kondisi sanitasi tak berbeda dengan di bekas RS Unicef. Di Jeyte, tim menemukan Khadijah, bocah dengan kasus dermatitis sangat akut dan buta. Saking akutnya dermatitis, seluruh kepala Khadijah korengan dan dihinggapi lalat. Selain itu tim juga menemukan banyak kasus gizi buruk di sini.

Kondisi di Mogadishu City juga tidak terlalu kondusif. Tim dikawal pasukan milisi bersenjata AK 47 bermobil sebagai voorijder. Minimal ada 5 orang yang mengawal. Bahkan saat Andhika tertinggal menuju mobil karena mendokumentasikan kamp, ia dikawal dua orang bersenjata menuju mobil. Beberapa kali terdengar letusan senjata ketika kami di hotel.

"Saya tersadar ini di Mogadishu, nggak ada tradisi membunyikan mercon," kata Andhika.

Andhika melaporkan, tim akan memberikan pelayanan kesehatan di Kamp Jeyte karena ada infrastruktur bekas mobile clinic dari sebuah NGO kesehatan Mesir di sini. Mobile clinic ini terhenti beroperasi karena berbagai alasan seperti keamanan, tingginya biaya operasional dan stok obat yang sulit.

Indonesia ACTion Team for Somalia adalah tim kemanusiaan yang diberangkatkan oleh Komite Indonesia untuk Solidaritas Somalia (KISS). KISS digagas Aksi Cepat Tanggap (ACT) dan dideklarasikan Jumat (19/8/2011) di Masjid Agung Al Azhar, Jakarta sebagai respons Indonesia atas bencana kelaparan di Somalia. Tim ini beranggotakan empat orang, termasuk dua orang dokter dan relawan logistik. Di Kenya dan Somalia, tim dibantu oleh relawan lokal dan bermitra dengan lembaga-lembaga kemanusiaan setempat dan internasional.  (*)

Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011