Jakarta (ANTARA News) - Idul Fitri diharapkan menjadi momen bagi hakim untuk kembali pada fitrahnya sebagai penegak hukum, demikian dinyatakan adik kandung Nasrudin Zulkarnaen (almarhum), Andi Syamsudin, seusai menghadiri sidang permohonan Peninjauan Kembali (PK) terpidana Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa.

Pernyataan Andi itu ditujukan untuk menanggapi tuduhan pelanggaran kode etik yang dilakukan majelis hakim tingkat pertama pada sidang pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen yang menempatkan Antasari Azhar selaku terdakwa hingga menjadi terpidana.

"Saya berharap pengadilan bisa menguak siapa yang membunuh kakak saya, Sampai saat ini saya tidak menjadikan putusan hakim tingkat pertama sebagai pegangan," ujar Andi menjawab pertanyaan wartawan, apakah dirinya yakin pada kebenaran putusan pengadilan yang menyatakan mantan ketua KPK, Antasari Azhar, terlibat dalam pembunuhan kakaknya.

Sementara itu, kuasa hukum Antasari, Maqdir Ismail, mengatakan bahwa seharusnya putusan majelis hakim tingkat pertama dibatalkan menyusul adanya temuan pelanggaran kode etik seperti yang dinyatakan Komisi Yudisial (KY).

"Di negara lain, sekecil apa pun pelanggaran kode etik yang dilakukan penegak hukum akan berdampak pada pembatalan putusan," kata Maqdir.

Sebelumnya, KY merekomendasikan Mahkamah Agung (MA) untuk memberhentikan sementara tiga majelis hakim tingkat pertama yang memimpin sidang Antasari karena dinilai melanggar kode etik. Tiga majelis hakim tersebut adalah Herry Siswanto, Prasetyo Ibnu Asmara, dan Nugroho Setiadji.

Pelanggaran kode etik tersebut diantaranya adalah pengabaian temuan saksi ahli teknologi informasi dari Institut Teknologi Bandung (ITB), serta perbedaan antara temuan ahli forensik dan balistik.

Ahli teknologi informasi menyatakan bahwa pesan singkat bernada mengancam yang dituduh berasal Antasari kepada Nasrudin, yang digunakan sebagai salah satu pertimbangan putusan hakim, tidak dapat dipastikan siapa pengirimnya.

Selain itu, temuan ahli forensik, dr Mun'im Idris, menyatakan bahwa peluru di tubuh korban berkaliber sembilan milimeter, bertentangan dengan pernyataan ahli balistik yang menemukan bahwa senjata yang digunakan pembunuh tidak mungkin menembakkan peluru kaliber tersebut.

Sampai saat ini belum ada pernyataan resmi dari MA untuk menindak lanjuti rekomendasi dari KY.
(T.SDP-14)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011