Jakarta (ANTARA) - Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menyebutkan 13 kabupaten/kota di Sumatera Utara (Sumut) memiliki angka prevalensi anak yang terlahir dalam kondisi kerdil (stunting) di atas 30 persen.

“Program, kegiatan dan anggaran untuk percepatan penurunan kekerdilan menjadi saling melengkapi, sehingga intervensi yang diberikan betul-betul diterima oleh rumah tangga sasaran. Persoalan kekerdilan di seantero Sumut harus bisa teratasi,” kata Kepala BKKBN Hasto Wardoyo dalam keterangan tertulis BKKBN yang diterima ANTARA di Jakarta, Kamis.

Baca juga: BKKBN sosialisasi RAN Pasti di Sumut

Berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021, sebanyak 13 dari 33 kabupaten/kota yang berada di Sumatera Utara masuk dalam kategori merah atau angka prevalensi berada di atas 30 persen.

Ke-13 kabupaten/kota itu adalah Mandailing Natal, Padang Lawas, Pakpak Bharat, Nias Selatan, Nias Utara, Dairi, Padang Lawas Utara, Nias, Kota Padangsidempuan, Langkat, Batubara, Labuan Batu Utara, serta Tapanuli Selatan.

“Mandailing Natal prevalensi kekerdilannya menyentuh 47,1 persen. Memuncaki peringkat kedua dari 246 kabupaten/kota pada 12 provinsi prioritas. Kemudian Padang Lawas prevalensinya 42 persen, masuk dalam 10 besar daerah berstatus merah,” ucap dia.

Untuk kabupaten/kota yang masuk dalam kategori kuning dengan kisaran angka kekerdilan 20-30 persen, yakni Samosir, Simalungun, Nias Barat, Labuan Batu, Labuhan Batu Selatan, Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Kota Gunung Sitoli, Kota Tanjung Balai, Kota Sibolga, Tapanuli Tengah, Karo, Toba Samosir, serta Binjai.

Sedangkan kabupaten/kota yang berkategori hijau atau angka prevalensi berkisar 10-20 persen adalah Serdang Bedagai, Kota Meda, Asahan, Kota Tebingtinggi, Kota Pematang Siantar, dan Deli Serdang.

Tingginya angka prevalensi anak yang lahir dalam keadaan kerdil di Sumatera Utara, membuat BKKBN menurunkan 10.323 tim pendamping keluarga (TPK) atau setara dengan 30.969 orang penggerak pendamping keluarga.

Pihaknya juga melibatkan perguruan tinggi dengan meneken nota kesepahaman (MOU) melalui Program Kampus Merdeka untuk berkontribusi mengentaskan lahirnya anak kerdil di 6.132 desa yang ada di provinsi itu. Meski baru sembilan perguruan tinggi atau sekitar 2 persen yang telah melakukan perjanjian dengan BKKBN.

Hasto menekankan bila kekerdilan bukanlah sebuah kutukan. Namun, dapat menurunkan sekitar 2 hingga 3 persen pendapatan domestik bruto (PDB) hilang per tahun, yakni apabila jumlah PDB Indonesia tahun 2020 sekitar Rp15 ribu triliun, potensi kerugian akibat kekerdilan akan mencapai Rp450 triliun.

Baca juga: Memadukan kampung KB dan kampung nelayan di tepi Selat Malaka

Baca juga: BKKBN sosialisasi RAN Pasti di Sumut


Oleh sebab itu, dibutuhkan keterlibatan semua pihak untuk mengatasi permasalahan pada anak itu khususnya di Sumatera Utara.

“Saya berharap, keberadaan 385 perguruan tinggi yang ada di Sumut bisa melaksanakan kegiatan peduli kekerdilan. Hingga saat ini baru pelibatan mahasiswa dan pengerahan maksimal TPK menjadi solusi untuk mengkover persoalan kekerdilan,” kata Hasto.

Wakil Gubernur Sumatera Utara Musa Rajekshah berharap semua kepala daerah yang ada di wilayahnya saling membantu mengatasi masalah tersebut.

“Data-data yg diberikan BKKBN harusnya menjadi pijakan kita semua untuk bergerak dan melakukan konvergensi. Kami optimistis Sumut dapat mencapai target penurunan angka kekerdilan sebesar 14 persen pada tahun 2024,” kata dia.

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2022