Jakarta (ANTARA News) - Dari kejauhan hamparan hijau Bukit Mesel tampak hijau membentang luas. Bukitan berketinggian 420 meter di atas permukaan laut itu dipenuhi ratusan ribu pepohonan dari berbagai jenis.

Bukit Mesel di Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara itu kini telah berubah menjadi hutan lebat, Tigabelas tahun lalu perbukitan itu adalah lokasi penambangan emas yang diusahakan PT Newmont Minahasa Raya (PTNMR).

Saat itu hampir setiap hari tak pernah sepi. Gemuruh eskavator dan derap roda truk berukuran raksasa serta kepulan asap hitam dari cerobong pabrik pengolahan emas itu mewarnai aktivitas penambangan.

Kini bukit Mesel nyaris tanpa suara. Sepi dan sunyi hanya sesekali terdengar kicauan burung Rangkong yang bertengger di dahan pepohonan rindang menikmati habitat yang sempat mereka tinggalkan semasa penambangan.

Penambangan emas di bukit Mesel itu nyaris tak meninggalkan jejak. Bahkan sisa-sisa bangunan maupun bekas pabrik pengolahan emas itu pun tak lagi terlihat, yang ada hanya jejak hijau pepohonan dan hewan langka monyet kerdil Sulawesi (Tarsius sp).

Satu-satunya yang tersisa dan menjadi bukti bahwa di bukit itu pernah dilakukan penambangan adalah sebuah danau seluas 700 x 500 meter dengan kedalaman 135 meter, bekas kawah galian tambang utama yang juga bernama Mesel.

Senior Public Relations officer PT Newmont Minahasa Raya Fretty Mamonto mengatakan, selama kurun waktu delapan tahun masa menambangan (1996-2004), PTNMR berhasil memproduksi 1,8 juta "troy ounce" emas batangan (1 troy ounce setara 31,1 gram). Produksi emas rata-rata 750 gram per bulan.

Sebenarnya PTNMR mengakhiri masa penambangan tahun 2001, karena bebatuan yang mengandung mineral emas di bukit Mesel memang sudah habis, namun pabrik yang pengolahan masih memproses sisa stok material hingga Agustus 2004.

Setelah masa penambangan berakhir, dilanjutkan dengan pembongkaran sehingga pabrik pengolahan bijih selesai 2006. PTNMR kemudian melanjutkan tahapan reklamasi dan revegetasi di areal bekas tambang.

"Keberhasilan program penutupan tambang yang bertanggungjawab diantaranya melalui reklamasi yang dilakukan sejak 1996 hingga 2009 telah berhasil mengembalikan fungsi ekologis hutan hasil reklamasi seluas 179,70 hektare sesuai dengan peruntukannya," kata Fretty ketika mendampingi wartawan asal NTB meninjau lokasi bekas tambang di bukit Mesel.

Proses reklamasi dilakukan secara bertahap yang dimulai dengan penataan lahan, pencegahan erosi, penyebaran tanah pucuk atau `top soil`, penanaman tanaman penutup, dilanjutkan dengan penanaman pohon-pohon yang diikuti dengan pemeliharaan dan pemantauan pertumbuhan.

Kawasan bekas penambangan kini telah berubah menjadi hutan lebat yang ditumbuhi berbagai jenis pepohonan bernilai ekonomis tinggi. Bukit Mesel juga menjadi habitat yang sesuai bagi serangga dan hewan-hewan asli di Kabupaten Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara.

Hasil survei Tim Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado menunjukkan bahwa bukit Mesel ditumbuhi 155.814 pohon dan terdapat 145 spesies tanaman dari 45 famili pepohonan.

Jenis kayu yang ditanam pada lahan bekas tambang itu adalah kayu keras bernilai ekonomis tinggi seperti jati, mahoni, sengon, angsana, mahoni, cempaka dan nyatok serta beberapa tanaman buah-buahan, antara lain nangka, durian, mangga dan jambu mete serta tumbuhan Multipurpose Tree Species (MPTS), seperti kayu manis dan rotan cengkih.

Menurut Fretty, survei yang dilakukan secara berkala selama enam tahun terakhir juga menemukan sedikitnya 106 jenis burung menetap dan migrasi di hutan reklamasi lahan tambang, seperti burung Rangkong, kadalan Sulawesi dan `Yellow-sided flowerpecker`.

Di kawasan reklamasi bukit Mesel juga ditemukan berbagai jenis serangga penyerbuk yang terus meningkat dan hewan langka monyet kerdil Sulawesi (Tarsius sp).

Ia mengatakan, total luas lahan pinjam pakai kawasan hutan yang digunakan untuk kegiatan penambangan, namun yang dimanfaatkan untuk penambangan, pabrik dan fasilitas penunjang lainnya hanya 240 hektar. Sisanya dimanfaatkan sebagai zone penyangga.

Dari 240 hektar lahan terpakai, menurut David, yang bisa direklamasi seluas 200 hektar. Selebihnya berupa kolam bekas galian tambang, dinding galian dan jalan, tidak yang bisa ditanami kembali.

Menurut Fretty, program reklamasi dan revegetasi lahan seluas 200 hektar di bekas penambangan emas PTNMR di Ratatotok, Sulawesi Utara yang berlangsung sekitar 13 tahun itu menelan dana 5,6 juta dolar AS atau sekitar atau sekitar Rp55 miliar.

"Kegiatan fisik penutupan tambang di Ratatotok sebenarnya telah selesai pada kuartal IV tahun 2004. Namun masa pemantauan lingkungan pascatambang dilanjutkan mengingat Kontrak Karya (KK) PT NMR baru berakhir pada 2016," ujarnya kepada wartawan NTB yang berkunjung, 7-10 September 2011.

Proyek reklamasi bekas tambang di Ratatotok itu seharusnya berlangsung sampai tahun 2016. Namun, karena PTNMR berhenti beroperasi sejak 2004, pelaksanaannya dipercepat hingga tahun 2010.

Tim Peneliti dari Fakultas Pertanian Universitas Sam Ratulangi Manado menyimpulkan bahwa reklamasi hutan bekas tambang PTNMR telah dilaksanakan 100 persen. Persentase tanaman mencapai 152,83 persen dengan tingkat kesehatan tanaman 97,68 persen serta persentase tanaman lokal 99,91 persen.

Tim Penilai Tingkat Keberhasilan Reklamasi Hutan PTNMR tingkat pusat menyimpulkan bahwa nilai keberhasilan reklamasi hutan PTNMR di Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara mencapai 93 persen, lebih tinggi dari standar yang ditetapkan pemerintah untuk kategori baik, yakni 80 persen.

Terminasi

Site Manager PT Newmont Minahasa Raya David Sompie mengatakan, sehubungan dengan telah berakhirnya masa penambangan di bukit Mesel itu, manajemen PTNNT mengajukan permohonan penutupan tambang dan pada Juli 2010 dikaluarkan surat keputusan (SK) Menteri Kehutanan No.435/2010 tentang Pengakhiran Pinjam Pakai Kawasan Hutan PTNMR.

Selanjutnya pada Januari 2011 dilakukan penyerahan kembali kawasan hutan kepada pemerintah Indonesia.

Kendati operasi tambang telah berakhir dan lahan pinjam pakai sudah diserahkan kepada pemerintah Indonesia, namun PTNMR masih berkewajiban untuk melakukan pengawasan atas lahan yang telah direklamasi hingga sebagaimana yang diamanatkan dalam kontrak karya.

Karena itu manajemen PTNMR telah mengajukan terminasi atau penghentian proses tambang ke pemerintah pusat pada dua bulan lalu, namun hingga kini belum ditanggapi.

"Manajemen kami telah menyurati Dirjen Mineral dan Batubara Kementerian Energi Sumber Daya Mineral dua bulan lalu untuk meminta KK PTNMR di Sulawesi Utara diputus atau terminasi," ujarnya.

Menurut David, langkah manajemen PTNMR mendahului batas akhir kontrak merupakan upaya meminta petunjuk.

Ia mengakui selama ini di Indonesia belum ada operasi tambang yang diakhiri sebelum KK berakhir.

"Kami mengharapkan usulan tersebut bisa direalisasikan, namun untuk menjadikan lahan bekas penambangan menjadi kebun raya membutuhkan waktu lama dan proses panjang, karena banyak hal yang harus disiapkan," kata David Sompie.

Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Minahasa Tenggara Jhony Rasul mengakui bekas tambang PTNMR itu telah diusulkan untuk dijadikan kebun raya.

Manajemen PTNMR telah mengajukan usulan agar lahan bekas tambang yang kini telah berubah menjadi hutan lebat itu dijadikan kebun raya.

Sebagai tindaklanjut dari usulan itu pihak Kebun Raya Bogor dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah berkunjung ke lokasi bekas tambang. Kehadiran mereka untuk menjajaki kemungkinan lokasi tersebut dijadikan kebun raya.

Setelah melakukan pengamatan pihak Kebun Raya Bogor dan LIPI menyimpulkan, reklamasi bekas lahan tambang emas di Ratatotok ini merupakan salah satu yang terbaik.

Jejak hijau PTNMR di bukit Mesel, Ratatotok, Kabupaten Minahasa Tenggara itu menjadi saksi bisu sebuah industri pertambangan dan bukti program penutupan tambang yang bertanggungjawab.
(M025)

Pewarta: Masnun
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011