Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Penyakit Dalam Konsultan Ginjal Dan Hipertensi di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI), dr. Adi Wijaya, Sp.PD-KGH mengingatkan pasien hemodialisis mewaspadai terjadinya kelebihan cairan yang bisa berdampak pada kondisi tubuh.

Dampak yang bisa dirasakan pasien saat kelebihan cairan yakni bengkak di seluruh tubuh termasuk pada paru-paru yang bisa menimbulkan sesak pada pasien.

"Yang paling bermasalah pada pasien hemodialisa (HD) pada 1 sampai 6 bulan pertama yaitu kelebihan cairan, dimana pasien akan merasa lebih haus dan minum lebih banyak sehingga pasien dapat mengalami kelebihan cairan," kata Adi melalui siaran pers RSUI, dikutip Jumat.

Menurut Adi, kelebihan cairan dapat diatasi dengan membatasi asupan cairan, asupan garam, dan frekuensi hemodialisis yang lebih sering.

Di sisi lain, masih ada masalah lain yang juga dapat terjadi pada pasien penyakit ginjal yang menjalani hemodialisis yaitu penyakit jantung, anemia, hipertensi, penyakit tulang, gangguan pencernaan, gangguan saraf, infeksi, gatal-gatal, dan masalah psiko-sosial.

Hemodialisis menjadi salah satu terapi penyakit ginjal yang digambarkan sebagai sebuah mesin dan ginjal buatan untuk mengeluarkan cairan dan zat sampah dari dalam darah. Terapi ini tidak menggantikan seluruh fungsi ginjal, hanya fungsi pembuangan saja yang dapat digantikan.

"Permasalahan yang sering terjadi pada pasien hemodialisis yaitu nyeri dada, sesak nafas, sakit kepala, dan keluhan lain yang membuat cemas," kata Adi.

Selain hemodialisis, ada sejumlah terapi lain yang bisa menjadi pilihan mereka dengan masalah ginjal yakni cangkok ginjal dan dialisis peritoneal (CAPD). Pasien bisa memilih terapi mana yang ingin dijalankan dan setiap terapi memiliki keuntungan dan kekurangannya sendiri.

Terapi CPAD memiliki waktu yang lebih fleksibel dan tidak terikat jadwal seperti jadwal HD. Terapi ini juga dapat dilakukan di rumah, di tempat kerja atau di tempat-tempat pasien berada dan durasi waktu CPAD juga lebih singkat.

Penyakit ginjal kronik yakni terganggunya fungsi dan struktur ginjal menahun atau lebih dari 3 bulan dengan berbagai implikasi kesehatan. Menurut Adi, saat ini diperkirakan sebanyak 850 juta orang terkena penyakit tersebut dan diperkirakan akan meningkat setiap tahunnya seiring dengan meningkatnya penyakit degeneratif.

Penyebab penyakit ginjal kronik bermacam-macam dan tiga penyebab di antaranya yakni hipertensi, penyakit diabetes, dan penyakit peradangan ginjal kronik atau disebut glomerulonefritis.

Penyebab lainnya yang dapat menyebabkan penyakit ginjal kronik yaitu penyakit jantung, autoimun, obat-obatan yang merusak ginjal dan adanya sumbatan saluran kemih.

Ada sejumlah tanda yang perlu diperhatikan terkait penyakit ini yaitu tekanan darah tinggi, perubahan frekuensi dan jumlah urin dalam sehari, adanya darah dalam urin, lemah, lesu, kehilangan nafsu makan, sakit kepala, tidak dapat berkonsentrasi, gatal, sesak, mual dan muntah, serta timbul bengkak terutama pada kaki dan pergelangan kaki dan pada kelopak mata waktu pagi hari.

"Penyakit ginjal kronik pada tahap awal, sebagian besar hampir tidak bergejala, sehingga diperlukan skrining,” ungkap Adi.

Skrining pemeriksaan fungsi ginjal dapat dilakukan melalui pemeriksaan darah dan pemeriksaan urin. Pemeriksaan darah dengan melihat kadar kreatinin, ureum, dan laju filtrasi glomerulus. Pemeriksaan urin dengan melihat kadar albumin atau protein.

Baca juga: Mengulik pengalaman pasien cuci darah dengan segala tantangannya

Baca juga: Dokter: Transplantasi ginjal buat kualitas hidup lebih baik

Baca juga: Sejak muda sudah cuci darah, JKN-KIS bangkitkan semangat hidup Juliana

 

Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022