Vaksinasi menentukan kondisi satu wilayah negara dalam pandemi ini
Jakarta (ANTARA) - Epidemiolog Griffith University Australia Dicky Budiman mengatakan tren pelacakan kasus COVID-19 secara global sedang mengalami penurunan tepat di saat hadirnya subvarian Omicron, yakni BA.2.

“BA.2 itu Omicron dan Variant of Concern (VOC) juga jadi harus diwaspadai dan serius,” kata Dicky melalui pesan suara yang diterima ANTARA di Jakarta, Jumat.

Dicky menuturkan subvarian Omicron BA.2 harus disikapi oleh Indonesia secara lebih serius. Sebab, BA.2 memiliki kecepatan empat kali lebih menular daripada varian Delta dan jumlah virus yang mencapai lebih banyak 10 kali daripada subvarian BA.1.

Kecepatan penularan tersebut menurutnya sangat berbahaya bagi kelompok rentan seperti lansia, penderita komorbid dan juga anak-anak di bawah usia 6 tahun yang belum bisa divaksinasi COVID-19.

Bahkan, BA.2 dapat menciptakan fenomena denominator atau kondisi dimana jumlah orang yang terinfeksi terlihat sedikit, namun sebenarnya kasus positif yang ada dalam masyarakat jauh lebih banyak dari yang terlihat sehingga bisa membebani fasilitas kesehatan.

Sayangnya, tepat pada saat BA.2 mulai mendominasi di Indonesia, tren testing maupun tracing kasus COVID-19 di dunia semakin menurun. Sehingga dunia mengalami keterbatasan dalam mendeteksi varian tersebut.

Baca juga: Varian BA.2 ditemukan di Indonesia, seperti apa gejalanya?

Baca juga: Subvarian Omicron BA.2 lebih menular tetapi tidak lebih parah


Apalagi surveillance genomic yang menurutnya mahal dan tidak setiap negara mampu secara terus menerus memakai jenis tes tersebut. Meskipun kini pelacakan di Indonesia dirasa lebih memadai dari sejak awal pandemi terjadi.

“Kalau bicara keterbatasan 3T kita, surveillance genomic kita, itu masih terbatas. Beda dengan negara maju yang memiliki kemampuan yang lebih baik dengan Singapura pun kita berbeda kemampuannya itu tentu membuat kita dalam keterbatasan,” ujar Dicky.

Menurut Dicky dengan pelonggaran-pelonggaran yang mulai diterapkan oleh pemerintah Indonesia, tidak boleh diterapkan pada semua sektor kehidupan masyarakat akibat keterbatasan pelacakan kasus tersebut.

"Jangan sampai mengendorkan atau menghilangkan aspek 3M kita karena itu berbahaya dan kita belum dalam kondisi yang aman dan kuat untuk melakukan pelonggaran itu di tengah keterbatasan testing tracing kita. Masa krisis dunia itu juga belum lewat," ucap dia.

Ia menyarankan bila pelonggaran mau diterapkan di semua aspek, maka pemerintah perlu memperkuat aspek lain yang dapat menyeimbangkan kondisi atau mencegah terjadinya lonjakan kasus terjadi.

Dicky menekankan, varian Omicron bukanlah varian ataupun gelombang terakhir. Sehingga ia meminta agar pemerintah Indonesia tetap memperkuat pelacakan dan cakupan vaksinasi agar lanskap imunitas masyarakat terbentuk 100 persen.

Sedangkan bagi masyarakat, Dicky mengatakan masih ada daerah dengan cakupan vaksinasi yang belum mencapai 70 persen bahkan pada dosis keduanya. Oleh sebab itu, dia berharap masyarakat segera melakukan vaksinasi agar dapat memproteksi diri dari berbagai varian-varian yang mungkin lahir di masa depan.

“Vaksinasi menentukan kondisi satu wilayah negara dalam pandemi ini, ancaman varian berikut atau gelombang berikut itu benar. Jadi landscape immunity penting untuk diraih dan dicapai setinggi-tingginya,” kata dia.

Baca juga: Pakar: BA.2 merupakan subvarian Omicron terbaru

Baca juga: Satgas: Omicron BA.2 jadi perhatian sebab beda hasil PCR

 

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022