Jakarta (ANTARA News) - Pengamat intelijen Wawan H Purwanto menyatakan, intelijen sebetulnya telah mengetahui gerakan para teroris sejak 14 Agustus 2011 sebelum aksi bom bunuh diri terjadi di depan Gereja Bethel Indonesia Sepenuh (GBIS) Kepunton, Solo, Jawa tengah, Minggu, yang mengakibatkan dua orang tewas dan 14 orang luka-luka.

Saat itu, kata dia, di Jakarta, Senin, intelijen melaporkan ada lima orang yang disiapkan menjadi pengantin dan sudah dibaiat. Serta ada sembilan remaja yang sudah siap menjadi pengantin tetapi belum dibaiat.

"Pembaiatan dilakukan orang yang punya pengaruh. Mereka bergerak dari beberapa kota dan berniat menyerang pada rentang Agustus hingga September," kata Wawan mengutip informasi yang didapatnya dari intelijen.

Informasi tersebut lalu dilaporkan ke penegak hukum lain untuk ditindaklanjuti, sehingga wajar saja terjadi pengamanan yang ketat pada rentang waktu dua bulan itu, terutama pada saat Idul Fitri.

"Ternyata benar, pada minggu September 2011 tepatnya pada Minggu (25/9) terjadi peristiwa bom bunuh diri di Solo," ujar Wawan yang juga peneliti pada Lembaga Pengembangan Kemandirian Nasional (LPKN).

Ketika ditanya mengapa aparat hukum tidak segera bertindak, Wawan mengatakan aparat kepolisian belum cukup bukti untuk menangkap karena hanya berdasarkan laporan, sehingga polisi hanya mengawasi 14 orang tersebut.

Menurut Wawan, peristiwa tersebut bisa dijadikan momentum untuk segera mengesahkan RUU Intelijen Negara yang sudah dibahas sejak 2001 karena tanpa ada peraturan yang jelas, maka intelijen bagaikan anjing herder yang diikat dan hanya boleh dibiarkan menyalak tanpa wewenang untuk menggigit.

"Kalau dibiarkan, maka masalah terorisme akan berkepanjangan," ucapnya.

Selain itu, agar masyarakat tidak merasa curiga, pembahasan RUU Intelijen antara pemerintah dan DPR harus pula melibatkan masyarakat.

"Pemerintah dan DPR harus tetap memperhatikan keluhan masyarakat. Kalau pun akhirnya terjadi resistensi, maka masih ada mekanisme judicial review ke Mahkamah Konstitusi," kata Wawan.

Langkah memperkuat sistem hukum ini, tambah dia, dinilai efektif agar kejadian serupa tak terulang. Pasalnya, dalam teori keamanan, selalu ada peristiwa yang berulang.

Dulu pernah ada bom natal dan penembakan kemudian berulang lagi sekarang. Penyerangan terhadap orang asing juga bisa berulang, termasuk penyerangan terhadap masjid. Bahkan tempat persembunyianpun ada kemungkinan berulang, tuturnya.

Oleh karena itu, keberadaan aturan bisa mengantisipasi agar kejadian berulang itu bisa dipersempit. Terlebih, saat ini banyak DPO yang masih belum tertangkap.

"Di Poso masih ada puluhan, di Plumpang masih ada dua DPO, di Palembang lima orang, Aceh ada 19 orang, Jawa Tengah 12 orang, Jawa Timur 10 orang, dan Cirebon lima orang," katanya.

Ketika ditanya, apakah pelaku bom bunuh diri ada indikasi dengan kelompok Cirebon, tambah Wawan, kemiripan dengan kelompok Cirebon memang ada, tetapi harus diperkuat dengan tes DNA dan sidik jari.

"Kalau memang benar, berarti ada benang merah antara peristiwa yang satu dengan lainnya. Jaringannya lama, tetapi pemain baru yang kebetulan berafiliasi untuk mengacaukan situasi dan ada upaya untuk membenturkan dengan agama tertentu," katanya.
(S037/M027)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011