Jakarta (ANTARA) - Pengurus Pusat Persatuan Olahraga Berkuda Seluruh Indonesia (PP Pordasi) terus menyoroti fenomena joki cilik pacuan kuda tradisional yang saat ini menjadi polemik.

Pro dan kontra terkait joki cilik terus mencuat seiring dengan adanya insiden yang mengakibatkan joki cilik kehilangan nyawa, terbaru adalah MA alias Peci, berusia enam tahun asal Desa Dadibou, Kecamatan Woha, Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Berbagai pendapat bermunculan. Ada kalangan yang menyebut joki cilik pada pacuan kuda tradisional bagian dari eksploitasi anak dan harus dihentikan.

Sebagian lainnya menganggap adalah bagian tradisi yang tak bisa dipisahkan dari masyarakat Indonesia, khususnya di Bima yang dikenal dengan sebutan Pacoa Jara.

Sementara Pordasi selalu induk organisasi olahraga berkuda di Tanah Air memiliki Anggaran Dasar (AD) Pordasi 2020 yang mengamanatkan agar memberikan kontribusi pada olahraga berkuda tradisional dan seni budaya. Amanat tersebut tertulis pada pasal 4 ayat (3) AD Pordasi 2020.

Menurut Ketua Umum PP Pordasi Triwatty Marciano, keberadaan joki cilik bukan bagian dari eksploitasi anak. Namun bagian dari penyaluran minat dan bakat anak, sebagai media mencari bibit joki nasional bahkan internasional.

Hanya saja memang perlu pembenahan. Bukan justru dihilangkan atau dihentikan. Triwatty dan jajarannya telah meninjau langsung lokasi pacuan kuda tradisional oleh joki cilik di Arena Pacu Lembah Kara, Desa Lapadi, Kabupaten Dompu, NTB pada Senin (23/3).

Dalam keterangan tertulis, Kamis, dia hadir ditemani Ketua Umum KONI Pusat Marciano Norman dan Bupati Dompu Abdul Kader Jaelani, Dandim 1614 Dompu Letkol Kav. Taufik, S. Sos dan jajarannya masing-masing dan menyaksikan laga ekshibisi pacuan kuda oleh joki cilik.

Banyak fakta yang didapat Triwatty setelah beberapa laga ekshibisi digelar. Menurutnya, banyak hal yang perlu dibenahi demi kebaikan berbagai pihak, termasuk joki cilik itu sendiri.

Dalam laga ekshibisi tersebut, lintasan pacu sudah dibatasi pagar agar penonton tertib, tidak masuk ke lintasan saat para joki cilik berlaga. Sekretaris Umum Pordasi NTB, Malik, mengklaim setiap laga tidak ada penonton yang masuk ke lintasan, baik ketika latihan rutin maupun saat perlombaan.

Anak-anak berusia 6-12 tahun pun bergegas mengikuti perlombaan ekshibisi pacuan kuda tradisional yang disaksikan langsung oleh sejumlah pemangku kepentingan. Mereka memacu kuda dengan berlawanan arah jarum jam. Satu kali berpacu, delapan joki cilik beraksi melintasi arena sepanjang sekira 1.200 meter.

Baca juga: Pordasi dan KPAI sinergi selesaikan persoalan joki cilik pacuan kuda

Selanjutnya : kebanggaan

Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2022