“Biar dahi berlumpur asal tanduk mengena”. Pepatah ini cocok untuk menggambarkan Bio Farma. Meskipun nama dan kiprahnya belum banyak diketahui masyarakat, namun manfaat dari produk-produknya telah menyelamatkan jutaan nyawa di seluruh dunia.

PT Bio Farma (Persero) berdiri sejak 6 Agustus 1890. Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini berlokasi di Jalan Pasteur 28 Bandung dan merupakan satu-satunya produsen vaksin untuk manusia di Indonesia.

Menjadi produsen vaksin dan sera yang berdaya saing global merupakan visi dari Bio Farma. Untuk mencapai hal itu berbagai sertifikasi telah didapat, seperti sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan Republik Indonesia, Sistem Manajemen Mutu ISO 9001, ISO 14001, dan OHSAS 18001.

Pada 1997 perusahaan berhasil mendapatkan Prekualifikasi dari WHO (World Health Organization). Menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi Indonesia bahwa pengakuan tersebut baru diberikan kepada 23 produsen vaksin di dunia, salah satunya Bio Farma.

Dengan adanya berbagai sertifikasi dan pengakuan WHO ini, produk Bio Farma telah sukses dipasarkan di dalam dan di luar negeri. Lebih dari 100 negara menggunakan vaksin Bio Farma, meliputi Afrika, Asia, Amerika Latin dan sebagian negara Eropa.

Produk-produk yang dihasilkan Bio Farma diantaranya adalah vaksin virus (Polio, Campak, Hepatitis B rekombinan, seasonal flu), vaksin bakteri (TT, DT, DTP, BCG, Td), vaksin kombinasi (DTP-HB), antisera (ATS, ADS, ABU), dan produk diagnostika lainnya.

Vaksin dan imunisasi

Vaksin merupakan zat yang dimasukkan ke dalam tubuh untuk mencegah infeksi yang disebabkan oleh patogen, seperti virus, bakteri, atau parasit. Vaksin ini “mengajarkan” tubuh bagaimana mempertahankan diri melawan patogen.

Tipe vaksin dapat dibedakan berdasarkan zat yang terkandung di dalamnya. Yaitu, berupa patogen yang dilemahkan/live attenuated (contoh: vaksin polio), patogen inaktif (vaksin flu), toksoid (vaksin tetanus), subunit/acellular (vaksin pertusis), konjugat (vaksin Haemophilus influenza tipe b), serta yang baru dikembangkan berupa vaksin DNA/RNA dan vaksin rekombinan.

Dengan pemberian vaksin (vaksinasi/imunisasi), maka saat patogen yang sebenarnya menyerang, tubuh dapat mengingat dan membentuk respon imun yang lebih cepat dan lebih kuat dibanding individu yang tidak divaksinasi. Adanya efek “memori imun” ini diharapkan mampu mencegah penyakit infeksi akibat patogen berbahaya.

Pemberian vaksin penting. Bukan hanya melindungi individu yang diimunisasi, juga dapat melindungi lingkungan sekitar. Dimana, jika sejumlah tertentu individu dalam komunitas diimunisasi, maka kecil kemungkinan penyakit menyebar dari manusia ke manusia, dan kemungkinanan individu yang tidak diimunisasi terpapar patogen juga rendah sehingga sukar untuk terinfeksi. Oleh karenanya imunisasi dapat menjadi jalan untuk menghambat penyebaran penyakit infeksi.
 
Menteri Kesehatan Republik Indonesia dr. Endang Rahayu Sedyaningsih, MPH, DR. PH juga sangat mendukung program imunisasi. Hal ini tertuang dalam keputusannya nomor: 482/MENKES/SK/IV/2010 tentang Gerakan Akselarasi Imunisasi Nasional Universal Child Immunization 2010-2014 (GAIN UCI 2010-2014).

Dalam Kepmenkes tersebut dinyatakan bahwa imunisasi merupakan cara efektif untuk menurunkan angka kematian anak yang merupakan salah satu tujuan dari Millennium Development Goals (MDGs).

Menurut sumber WHO/UNICEF coverage estimates 1980-2007, 21 Agustus 2008, Indonesia merupakan negara keempat terbesar di dunia dengan jumlah anak yang tidak mendapatkan imunisasi. Sehingga diprioritaskan untuk melaksanakan akselerasi dalam pencapaian target pemberian imunisasi dasar lengkap pada semua bayi (umur kurang dari 1 tahun). Pemberian vaksin meliputi Hepatitis B, BCG, Polio, DPT, dan Campak.

Untuk mendukung target tersebut, pemerintah melaksanakan Pekan Imunisasi Nasional (PIN) secara berkesinambungan. Luasnya cakupan wilayah Indonesia dan angka kelahiran yang cukup tinggi per tahun menyebabkan mahalnya biaya imunisasi. Namun hal itu tertolong dengan adanya pasokan dari produsen vaksin dalam negeri yaitu Bio Farma, sehingga vaksin bisa didapat dengan harga murah dan cepat tersedia. Itulah wujud pengabdian dalam menyehatkan generasi penerus bangsa.

Tantangan menghadang

Tidak mudah untuk bertahan di industri kesehatan yang terus berkembang seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan munculnya penyakit-penyakit baru.

Tuntutan akan adanya vaksin-vaksin baru yang lebih bermutu, efektif, murah, mudah digunakan, halal, dan mampu melawan lebih banyak lagi patogen yang selama ini belum tertangani merupakan tantangan buat Bio Farma.

Dalam Seminar Ilmiah “Perkembangan Vaksin Masa Depan” di Bio Farma tahun 2009 lalu, Prof. dr. Amin Soebandrio, SpMK, Ph.D menyatakan bahwa tantangan lain dalam pengembangan vaksin adalah dalam identifikasi antigen, adjuvan, dan cara pemberian yang cocok. Ditambah kendala regulatori, teknis dan pabrikasi dalam menetralisir kandidat vaksin ke aplikasi klinis, serta aspek keberhasilan komersial.

“Riset vaksin selain memberikan tantangan dan peluang yang sangat besar juga membutuhkan konsentrasi yang tinggi, sehingga diperlukan kerjasama antar lembaga dan institusi baik nasional maupun internasional,” ungkap Direktur Utama Bio Farma, Drs. Iskandar, Apt, MM dalam tulisannya “Road Map Riset Menuju Era Bioekonomi 2030” yang dimuat BioMagz edisi pertama. Lebih lanjut Iskandar mengungkapkan bahwa diperlukan langkah nyata yang harus dilakukan sejak sekarang oleh seluruh institusi terkait.

Break the Wall

Usia 121 tahun menunjukkan kematangan Bio Farma dalam peran aktifnya di industri vaksin dan sera nasional bahkan global. Sebagian besar teknologi pembuatan vaksin yang sudah dikuasai. Namun itu belum cukup. Masih perlu kerja keras dan riset lebih lanjut agar dapat menghasilkan vaksin baru.

Pada 26-27 Juli 2011 lalu, Bio Farma menyelenggarakan simposium nasional “Harmonisasi Riset Vaksin di Indonesia dalam Menyongsong Dekade Vaksin 2011-2020” di Hotel Borobudur, Jakarta. Forum ini dihadiri oleh perwakilan dari akademisi, pemerintah, dan kalangan industri. Tujuannya agar terjadi sinergi antar pihak tersebut dalam mewujudkan kemandirian riset vaksin nasional.
 
Dalam kesempatan itu juga ditandatangani Memorandum of Understanding (MoU) antara Bio Farma dengan Universitas Brawijaya, Universitas Jenderal Achmad Yani, dan Universitas Indonesia, disaksikan oleh Wakil Menteri Pendidikan Indonesia, Prof. Dr. Fasli Jalal. Kerjasama ini diharapkan mampu memangkas waktu riset yang biasanya butuh 10–15 tahun.

Kualitas sumber daya manusia pun dibenahi oleh Bio Farma. Banyak karyawan diberi kesempatan untuk memaksimalkan potensi dengan mengikuti pendidikan formal setara S2 dan S3, serta berbagai kursus atau pelatihan baik di dalam maupun di luar negeri. Sehingga diharapkan muncul peneliti muda yang dapat melanjutkan tongkat estafet hingga masa mendatang.

Terkait penggunaan bahan baku asal hewan juga berusaha dikurangi. Selain terkait isu halal bagi umat muslim, dikhawatirkan adanya kemungkinan transmisi penyakit asal hewan ke manusia. Untuk itu Divisi Litbang Bio Farma sedang berusaha mengembangkan berbagai riset pembuatan vaksin bebas bahan baku asal hewan. Salah satunya dengan menggunakan bahan rekombinan yang berasal dari tumbuhan.
 
Mengenai isu halal, mantan Menteri Kesehatan, dr. Siti Fadilah Supari, menyatakan bahwa vaksin produksi Bio Farma aman dan halal untuk digunakan.

Bio Farma telah mampu bertahan selama 121 tahun dan mengalahkan semua tantangan di masa lalu. Maka dengan semua potensi yang dimilikinya dan dukungan kerjasama dengan berbagai pihak, tentu perusahaan ini mampu menaklukkan semua tantangan di masa depan dan menjadi pemain utama dalam industri vaksin global.

*Penulis adalah Staf di Divisi Produksi Vaksin Virus PT Bio Farma (Persero)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2011