Jakarta (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menilai Rancangan Undang-Undang Intelijen Negara yang telah selesai dibahas oleh Panitia Kerja Komisi I DPR masih belum mengakomodasi norma-norma HAM.

"RUU Intelijen ini memang sangat penting untuk segera disahkan, mengingat kerja dan operasi intelijen di Indonesia selama ini tidak memiliki payung hukum dan bekerja pada prinsip demokrasi. Namun, RUU Intelijen hasil Panja itu masih belum sesuai dengan norma umum HAM, baik nasional maupun internasional," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim kepada wartawan di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu.

Komnas HAM mencatat beberapa hal yang krusial dari draf terakhir RUU Intelijen yang perlu diperbaiki, antara lain, tentang keamanan nasional (Kamnas) Ayat 8 Pasal 1 dan Pasal 3, karena tidak ada pengertian yang jelas mengenai Kamnas.

"Pengertian Kamnas tidak boleh direduksi menjadi keamanan pemerintah," tuturnya.

Ia menyebutkan dalam prinsip Johanesburg Ke-1, menyatakan, pembatasan HAM yang dijustifikasi dengan alasan keamanan nasional tidak sah bila tujuannya untuk melindungi yang tidak ada hubungannya dengan keamanan nasional, termasuk melindungi pemerintah dari kesalahannya.

Selain itu, kata Ifdhal, Pasal 32 tentang penyadapan. Kewenangan penyadapan seharusnya diberlakukan dalam situasi khusus dengan payung hukum yang jelas, seperti dalam situasi darurat sipil atau darurat militer atau darurat perang yang penetapannya melalui payung hukum.

"Restriksi ini perlu dijabarkan lebih detil dan tidak bisa diterima dalam kondisi negara tertib sipil," kata Ifdhal seraya menambahkan hasil penyadapan tidak bisa digunakan sebagai barang bukti.

Mengenai pengawasan eksternal terhadap intelijen, menurut dia, RUU Intelijen belum mengakomodasi tentang diperlukannya pengawasan terhadap operasi intelijen yang tidak hanya dilakukan oleh DPR, namun perlu dibentuk suatu Komisi Pengawas Intelijen.

Terkait masa retensi dalam Pasal 25 itu, lanjut Ifdhal, masa retensi yang tidak membagi dan mengkualifikasi jenis rahasia intelijen dapat berpotensi melanggar norma HAM dan menghambat kinerja Komnas HAM sebagai institusi negara.

"Masa retensi yang terlalu panjang, yakni 25 tahun akan menghalangi upaya penyelidikan yang dilakukan Komnas HAM terkait adanya dugaan pelanggaran HAM," katanya.

Oleh karena itu, Komnas HAM mengusulkan masa retensinya adalah tiga tahun, lima tahun dan tujuh tahun, tergantung pada jenis rahasia intelijen. Namun, bila berpotensi dapat menimbulkan perpecahan bangsa, maka masa retensi bisa ditetapkan 25 tahun melalui keputusan pengadilan.

Pengubahan kewenangan penangkapan menjadi penggalian informasi dalam pasal 31 akan menimbulkan masalah baru karena masih belum jelas, apakah intelijen melakukan penangkapan, pemeriksaan intensif atau interogasi. Ini akan membelengu kebebasan sipil," ucapnya.

Komnas HAM menyesalkan tidak diminta pendapatnya dalam proses penyusunan RUU Intelijen Negara, baik Rapat Dengar Pendapat oleh Komisi I DPR maupun oleh Badan Intelijen Negara (BIN).

Oleh karena itu, Komnas HAM memandang bahwa RUU Intelijen Negara belum cukup "fit dan proper" untuk disahkan menjadi UU, sehingga perlu ada perbaikan secepatnya sebelum disahkan.
(T.S037/I007)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011