Raja Ampat (ANTARA) - Selepas melaut, Ale Imran duduk santai menatap laut lepas di ujung dermaga Kampung Sawandarek, Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat, yang sunyi dari hingar bingar suara mesin kapal.

Jarinya menggenggam sekantong plastik nasi sisa untuk ditabur ke permukaan laut tenang sebening kristal. "Kalau sekarang, tinggal kasih nasi saja, ikan-ikan sudah datang," katanya saat bertukar obrolan dengan Antara, Jumat (25/3).

Benar saja, dalam hitungan menit berbagai spesies biota laut datang berkoloni dari penjuru pantai, menyantap setiap butir nasi yang mengambang di sekitar dermaga kapal.

Terik matahari menembus hingga dasar pantai sedalam 7 meter bergradasi warna tosca dan biru tua, menyorot ribuan koloni spesies ikan yang sedang berebut nasi di antara warna warni terumbu karang.

Nelayan berusia 48 itu menyebut aktivitas menabur nasi di pantai sebagai kebiasaan rutin penduduk setempat menyambut kehadiran pelancong. Ada keyakinan, koloni biota laut di wilayah itu menambah semarak aktivitas wisata menyelam maupun snorkling.

Sawandarek masuk dalam kawasan konservasi terumbu karang yang terbagi atas zona konservasi, penangkapan ikan dan wisata menyelam hingga kedalaman laut 12 meter.

Selama dua tahun pandemi, Ale menyebut jumlah kedatangan wisatawan domestik dan mancanegara bisa dihitung jari. "Biasanya hampir setiap hari mereka datang untuk snorkling di sini. Home stay kami bisa penuh dua tahun lalu," katanya.

Desa berjarak dua jam perjalanan laut dari Sorong itu terkenal dengan konsistensi masyarakat pada ritual "sasih" yang bersifat permanen, di mana masyarakat setempat maupun pelancong dilarang menangkap hasil laut di kawasan setempat.

"Sasih ini atas arahan pak pendeta dan tokoh adat kami. Tujuannya untuk menjaga laut tetap bagus. Sasih sudah ada sejak desa ini berdiri sampai sekarang. Selama sasih, saya dan penduduk di sini cari ikan ke pulau seberang," katanya.

Ale meyakini ritual yang erat dengan kepercayaan Hindu itu bisa membuat kawasan pesisir terjaga keasriannya melalui interaksi kearifan lokal warga setempat bersama alam.


Situasi pandemi

Memasuki tahun ketiga pandemi COVID-19, ekonomi penduduk Pulau Mutus yang bertetangga dengan Sawandarek masih terpuruk akibat potensi ekspor tangkapan ikan kerapu menuju Hong Kong terhenti setelah ditinggal oleh pengepul tunggal asal Makassar.

Penduduk setempat Yoram Sauyai (36) mengaku mengalami penurunan pendapatan dari Rp2 juta menjadi Rp300 ribu per hari akibat situasi itu. Ketiadaan pengepul mengakibatkan hasil tangkapan membusuk di rumah nelayan.

"Sekarang kami menjual ikan beku setelah mendapat bantuan dari program Coremap-CTI untuk menyimpan ikan. Tapi harganya anjlok dari Rp220 ribu per kilogram untuk ikan hidup, jadi Rp80 ribu per kilogram untuk ikan beku," katanya.

Pendapatan yang diperoleh ayah dari dua putra itu saat ini hanya menutup biaya solar untuk melaut. Bahkan pelatihan membuat pangan olahan rumput laut pun gagal akibat tidak memiliki jejaring pasar untuk distribusi ke konsumen.

Meski perkampungan nelayan berpopulasi sekitar 500 jiwa itu telah dilengkapi fasilitas bantuan lemari pendingin berkapasitas 50kg dan mesin pencetak es batu berbahan solarsel, tapi masa simpan yang terlalu lama membuat ikan busuk. Dalam kondisi tertentu, bobot ikan yang tak terjual bisa mencapai lebih dari 1 ton.

Alternatif yang dilakukan penduduk setempat adalah mengolah ikan mati untuk dijemur oleh kaum ibu rumah tangga menjadi produk ikan asin. "Tapi tetap belum menutup kebutuhan kami. Belum banyak yang bisa membuat ikan asin," katanya.


Desa wisata

Berjarak 30 menit ke arah timur laut dari Sawandarek, terdapat Kampung Yefnabi dan Meosmanggara yang menjadi pulau bagi habitat spesies pari manta membersihkan diri atau cleaning area.

"Saat pandemi COVID-19, yang datang ke kami rata-rata dua sampai tiga kapal, ada juga dari tamu resort. Kalau sebelum pandemi setiap hari ada," kata Sekretaris Tim Pengelola Ekonomi Masidimawa Meosmanggara, Ronny Sauwiai.

Populasi pari manta di kawasan setempat tak tergantung musim. Hampir setiap pagi dan sore koloni spesies pari terbesar di dunia berdiameter 5-7 meter itu kerap muncul membersihkan tubuh. Bahkan saat kurun November dan Oktober, populasinya bertambah hingga ratusan ekor.

Manager Projek Coremap-CTI Paket 3 Reef Check Riyan Heri Pamungkas menyebut Yefnabi dan Meosmanggara dapat dikembangkan menjadi objek wisata berbasis spesies. Pelung itu dikembangkan Reef Check dengan mengembangkan potensi warga dalam merintis usaha kecil menengah (UKM) berbahan baku minyak kelapa untuk menangkap peluang wisatawan.

"Coremap-CTI Paket 3 menyasar pengembangan bisnis wisata berkelanjutan. Tim sudah laksanakan kajian potensi kawasan terhadap ketersediaan bahan baku dan atraksi lokal, maka dipilih Kampung Meomanggara yang memiliki potensi minyak alami kelapa dan ada pasir timbul untuk pari manta," katanya.

Program tersebut, kata Riyan, sekaligus mempersiapkan penduduk setempat menyambut kehadiran kembali pelancong domestik dan mancanegara di tengah situasi pandemi COVID-19 di dunia yang kian melandai secara konsisten.

Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (Coremap – CTI) atau Program Rehabilitasi dan Pengelolaan Terumbu Karang Prakarsa Segitiga Karang tidak saja menekankan pada perlindungan kelestarian ekosistem terumbu karang, tetapi juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan pulau kecil yang tinggal di wilayah tersebut.

Program ini dilakukan oleh Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) bersama mitranya, dan didanai dari hibah Bank Dunia (WB) dan Bank Pembangunan Asia (ADB) yang mendukung dan bersinergi bersama satuan kerja Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).

Program telah berjalan sejak 1998 dan dirancang dalam tiga tahap yaitu tahap inisiasi, percepatan, dan pelembagaan, akan berakhir pada 31 Maret 2022, dan dilakukan di 39 situs, tujuh kota, 38 kabupaten, dan 16 provinsi.

Khusus di Meomanggara, program itu menyasar kaum ibu rumah tangga melalui pembekalan keterampilan membuat produk sabun, minyak kelapa hingga kerajinan tangan yang dapat diintegrasikan dalam paket perjalanan wisata Raja Ampat.

"Ada komunitas Manisrai yang berarti manis alami minyak kelapa yang terdiri atas kaum mama (ibu rumah tangga) membuat produk dengan bahan yang ada di warung. Selain itu, masyarakat kami latih keterampilan jadi pemandu wisata lokal melalui bimtek," katanya.

Pada tahap awal, penyelenggara melakukan simulasi program lewat paket wisata sehari ke Meosmanggara dengan mengundang mahasiswa sebagai jejaring produk serta memperluas pasar produk lewat kerja sama dengan sejumlah outlet wisata.

"Secara umum masyarakat Meosmanggara sudah siap menanti kedatangan turis di kampung mereka," katanya.

Sebelumnya, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno mengatakan pelandaian kasus COVID-19 di Tanah Air berpotensi mendatangkan 1,8 juta hingga 3,6 juta wisatawan mancanegara ke Indonesia pada tahun ini.

Hasil kajian berdasarkan uji coba pembukaan pintu kedatangan wisatawan di Bali, Batam dan Bintan pada Maret 2022 melaporkan adanya pergeseran minat wisatawan dari kawasan wisata dengan ruang terbuka yang luas ke objek desa wisata yang lingkupnya lebih kecil dan privat.

Status endemi di Indonesia tentunya menjadi harapan bagi masyarakat di Tanah Air, tidak terkecuali penduduk desa wisata di kawasan Raja Ampat. Semoga endemi segera diumumkan di Indonesia dalam waktu dekat serta menjadi pertanda baik bagi keberlangsungan wisata alam yang kini dirintis Ale Imran, Yoram Sauyai hingga para mama Manisrai.

Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2022