Jakarta (ANTARA) - BEM UI bersama dengan berbagai elemen masyarakat lainnya menyelenggarakan aksi bersama dalam rangka memperingati Global Climate Strike di Jakarta pada Jumat (25/3).

Baca juga: BEM FIB UI gelar bakti sosial di Kampung Pemulung Mongol

Aksi ini diwarnai dengan orasi, puisi, dan nyanyian yang menyerukan bahwa bumi kita sedang tidak baik-baik saja.

Dikutip dari keterangan pers, Minggu, momentum Global Climate Strike dimanfaatkan oleh elemen masyarakat di berbagai belahan dunia, termasuk lebih dari 20 kota di Indonesia untuk menyerukan kedaruratan iklim.

Aksi massa di Jakarta dimulai dengan melakukan long march dari JPO Tanpa Atap Sudirman menuju titik aksi di Taman Skate Park Sudirman.

Saat berada di titik aksi, massa aksi menyuarakan deklarasi darurat iklim dengan slogan “Tidak Ada Kehidupan di Planet yang Mati”.

Baca juga: "After Campus Series 2021" digelar Sabtu pekan ini

Massa aksi mengenakan atribut layaknya barisan pascakiamat sebagai implementasi dampak dari kepunahan yang akan terjadi akibat kondisi iklim yang semakin parah.

Selain itu, aksi ini juga menyuarakan urgensi penundaan terhadap krisis iklim yang harus segera direalisasikan oleh semua elemen masyarakat.

Salah satu hal yang mendasari aksi ini adalah Laporan IPCC terbaru yang menunjukkan konsekuensi signifikan yang timbul dari permasalahan perubahan iklim dan ketidaksinkronan antara aksi dan komitmen dunia saat ini sehingga mendorong adanya tindakan antisipatif-konstruktif dalam skala global untuk menyelamatkan masa depan yang layak huni dan berkelanjutan, meskipun dengan tenggat waktu yang sangat sempit.

Huru-hara dunia yang masih dieksploitasi oleh sistem politik ekonomi berbasis industri ekstraktif demi keuntungan semu berpotensi untuk terus membenamkan harapan dan solusi kita bersama agar secepatnya keluar dari krisis iklim.

Ketidakbijakan pemerintah yang secara persisten mendukung eksploitasi alam, hutan, dan lautan secara substansial akan terus menginisiasi perwujudan baru dari dampak katastropis krisis iklim yang semakin mengganas, seperti peningkatan korban jiwa terdampak, gagal panen, wabah penyakit, serta konflik sosial.

Baca juga: BEM UI: Vaksinasi COVID-19 sama penting dengan 3T

Terdapat empat poin tuntutan yang disampaikan melalui aksi serentak di berbagai belahan dunia ini.

Pertama, pendeklarasian darurat iklim untuk menjadi isu prioritas. Memastikan pendidikan dan penyebarluasan kebenaran tentang krisis iklim melalui lembaga-lembaga pendidikan.

Lebih lanjut, mendorong kerjasama lebih kuat dengan pihak media massa untuk terus menyebarluaskan isu krisis iklim.

Memprioritaskan pembangunan yang berketahanan iklim dan keamanan di tingkat tapak melalui infrastruktur untuk kedaulatan pangan, energi, air milik masyarakat secara mandiri. Memastikan transisi berkeadilan.

Mengintegrasikan kearifan lokal masyarakat adat dalam perencanaan solusi, termasuk pembuatan keputusan.

Urgensi untuk peningkatan ambisi dan komitmen iklim yang selaras dengan Perjanjian Paris. Untuk menahan laju pemanasan di titik 1,5 derajat Celcius.

Memastikan penghentian pendanaan pada proyek dan ketidakbijakan yang memperburuk situasi krisis iklim.

Menghentikan semua solusi iklim palsu seperti energi baru yang bersumber dari batubara gas, dan nuklir. Mengalihkan pendanaan dan dukungan terhadap solusi yang terdesentralisasi di tingkat tapak untuk seluruh masyarakat Indonesia.

Keselamatan dan keamanan yang terjamin untuk rakyat Indonesia yang berjuang
menyelamatkan lingkungan dan hidupnya.

Membuka ruang-ruang demokrasi yang adil dan bijak dengan perubahan sistem politik yang mengedepankan partisipasi masyarakat secara aktif (balai masyarakat).

Memastikan sistem ekonomi para ekonomi pemenuhan kehidupan, bukan pada pengukuran PDB.



Baca juga: Kolaborasi Alumni UI-IKJ untuk Jokowi-Amin gelar doa bersama

Baca juga: Mahasiswa FKG UI raih 8 penghargaan pada kompetisi di Medan

Baca juga: I-CELL UI raih sertifikat Edge Advance

Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022