tolong fokus juga pada pengobatan preventif
Jakarta (ANTARA) - Dokter Spesialis Paru dari Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Persahabatan Erlina Burhan menyatakan diperlukan adanya tindakan yang berani agar bisa mencapai target eliminasi penyakit Tuberkulosis (TBC) pada tahun 2030 di Indonesia.

“Jika kita melanjutkan ‘bisnis seperti biasa’, kita tidak akan dapat mencapai target eliminasi TBC pada tahun 2030. Jadi silahkan berinvestasi dan membuat 'kebisingan'. Ini yang saya katakan,” kata Erlina dalam Webinar 1st Health Working Group Side Event on Tuberculosis-Day 2 yang diikuti di Jakarta, Rabu.

Erlina menuturkan seluruh pihak sangat fokus dan saling berkolaborasi menangani COVID-19, baik dari pemerintah ataupun tenaga kesehatan. Namun sayangnya, hal yang sama tidak berlaku bagi pasien tuberkulosis.

Sehingga diperlukan sebuah tindakan berani agar pasien tuberkulosis dapat terpantau dan terlayani dengan baik. Salah satu yang bisa dilakukan adalah mencontoh penanganan dari COVID-19 yang tegas dalam menerapkan protokol kesehatan.

Baca juga: Partisipasi generasi muda penting untuk sebar "awareness" soal TBC
Baca juga: BKKBN-IDAI berupaya entaskan tuberkulosis-kekerdilan di Kulon Progo

Ia menjelaskan, adanya penerapan 3M seperti memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak ternyata juga cocok digunakan sebagai upaya pencegahan penyakit pernafasan yang menular lainnya seperti tuberkulosis, SARS, Mers, Ebola, Zika ataupun pandemi yang disebabkan oleh infeksi lainnya.

Menurut Erlina, pelacakan kasus tuberkulosis juga dapat dilakukan melalui penggunaan aplikasi digital seperti yang dilakukan oleh Aplikasi PeduliLindungi dan fitur baru Sijejak untuk menemukan kasus ataupun kontak erat.

“Kita tahu digital platform digital. Katakanlah, pengobatan bagi para penderita lewat Video Observer Treatment (VOT). Saya kira platform digital perlu juga untuk TBC,” ujar Erlina.

Erlina menekankan adanya sebuah tindakan yang berani amat sangat diperlukan bagi para penderita tuberkulosis. Sebab, pandemi COVID-19 telah memberikan dampak bagi semua penderita tuberkulosis. Pasien tidak bisa datang ke fasilitas kesehatan meskipun memiliki gejala dan tidak melanjutkan konsumsi obat meskipun sudah habis.

Baca juga: Gubernur Jatim bertekad putus penularan untuk capai eliminasi TBC 2030
Baca juga: Nutrisi yang tepat dibutuhkan pasien tuberkulosis

Menurut dia,  pandemi juga menyebabkan terjadinya gangguan pada layanan diagnostik dan pengobatan tuberkulosis. Tak hanya itu, pendanaan dari pemerintah dan deteksi pada kasus tuberkulosis juga mengalami penurunan.

Akibatnya, terjadi peningkatan angka kasus resistensi obat, angka kematian juga pada angka penularan.

Oleh karenanya, dirinya berharap setiap pihak baik dari pemerintah maupun non-pemerintah dapat berkolaborasi guna menghasilkan sebuah inovasi ataupun cara untuk mengelola dan mengobati para pasien tuberkulosis khususnya pada era pandemi COVID-19.

“Ini sangat melelahkan. Jadi tolong fokus juga pada pengobatan preventif (bagi pasien TBC),” ujar dia.

Baca juga: RSUI buka layanan Tuberkulosis Resistensi Obat
Baca juga: Nila Moeloek: Kasus COVID-19 melandai, harapan baru tanggulangi TBC

Pewarta: Hreeloita Dharma Shanti
Editor: Budhi Santoso
Copyright © ANTARA 2022