Gorontalo (ANTARA News) - Lima kawasan konservasi di Provinsi Gorontalo, yang memiliki nilai dan peran penting sebagai paru-paru dunia, ternyata sangat minim petugas pengawas.

"Kawasan konservasi dengan habitat ratusan hewan endemik dan hutan lindung di Gorontalo, hanya dijaga oleh delapan orang petugas. Tentunya tidak ideal," kata Pelaksana Harian (Plh) Seksi Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA) wilayah II Gorontalo, Sjamsuddin Hadju.

Wilayah kerja yang harus dijaga ketat meliputi lima kawasan konservasi, yaitu Suaka Margasatwa Nantu, cagar alam Panua, cagar alam Tanjung Panjang, cagar alam Pulau Mas Popaya Raja, serta cagar alam Tangale.

"Total kawasan konservasi tersebut seluas 80.000 hektar, hanya dijaga oleh delapan orang, terdiri dari empat polisi hutan dibantu empat tenaga Pengendali ekosistem hutan (PEH)," ungkapnya lagi.

Minimnya pengawasan di kawasan tersebut, membuat Seksi KSDA kesulitan menangani tindakan penjarahan hutan, eksplorasi tambang emas liar, dan perluasan tambak ikan oleh penduduk sekitar.

Dia mengatakan, di dalam kawasan konservasi itu, rata-rata memang memiliki kekayaan alam yang cukup melimpah, mulai dari pohon-pohon berusia ratusan tahun, rotan kualitas terbaik, juga emas.

Untuk mengantisipasi meluasnya penjarahan, pihaknya hanya bisa mendekati setiap tokoh masyarakat dan pemerintah desa di dekat kawasan konservasi itu, memberitahukan dampak serta ancaman hukuman akibat perusakan lingkungan itu.

"Kami berkali-kali mendekati tokoh masyarakat dan kepala desa untuk bersama-sama menjaga kelestarian kawasan, Alhamdulillah ada respons positif dari mereka," ujarnya.

Di satu sisi, lanjutnya, status KSDA wilayah II Gorontalo, yang masih dibawah koordinasi Badan KSDA di Sulawesi Utara, membuat lembaga ini kesulitan untuk menambah personil.

Sejak beberapa tahun lalu, Pihaknya sudah mengajukan usulan pada pemerintah untuk mengubah status KSDA di wilayah itu menjadi BKSDA, namun hingga kini upaya itu belum membuahkan hasil.
(SHS)

Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2011