Jakarta (ANTARA) - Para pendidik dan tenaga kependidikan perlu mendapatkan pemahaman akan kesadaran ancaman kekerasan seksual yang bisa terjadi di sekolah.

“Tindakan hukum apa yang harus dilakukan untuk mengatasinya sampai upaya preventif untuk mencegah kekerasan seksual terjadi pada anak dan remaja. Kebanyakan perangkat sekolah masih awam terhadap hal-hal terkait kekerasan seksual,” ujar Pendiri Komunitas Guru Satkaara Berbagi (KGSB), Ruth Andriani, dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Sabtu.

Oleh karena itu pihaknya memberikan pelatihan pada para guru berupa bimbingan konseling mengenai bahaya kekerasan seksual. Dia menambahkan untuk bisa mengembalikan fungsi sekolah sebagai tempat belajar yang aman dan nyaman bagi anak maka perlu pemahaman lebih lanjut soal kekerasan seksual.

“Sekolah idealnya merupakan jaring pengaman bagi peserta didiknya. Kami berinisiatif untuk melindungi masa depan anak melalui para guru dengan memberikan webinar mengenai ancaman kekerasan seksual. Para narasumber juga merupakan pakar di bidang hukum dan penanganan kekerasan seksual,” kata dia.

Baca juga: Menteri PPPA sesalkan pencabulan anak di lembaga pendidikan di Tarakan

Baca juga: Menteri PPPA: RUU TPKS tambahkan alat bukti kasus kekerasan seksual


Widyaiswara di PPPPTK Penjas dan BK Kemendikbudristek, Ana Susanti, MPd CEP CHt, mengatakan webinar itu merupakan langkah konkrit terhadap kemajuan dunia pendidikan Indonesia terutama dalam menanggulangi ancaman kekerasan seksual di lingkungan sekolah.

“Dibutuhkan gerakan sosial dari semua pihak untuk berkolaborasi bersama dalam menangani pencegahan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan,” ujar Ana.

Pengajar Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, SH LLM, menjelaskan kekerasan seksual harus ditangani secara serius bukan hanya dari aspek penghukuman tetapi juga pentingnya pencegahan dan penanganan cepat serta pemulihan korban.

“Saat ini baru terdapat tiga jenis kekerasan seksual yang diatur dalam peraturan perundang-undangan dengan uraian delik dan unsur yang masih terbatas. KUHAP yang ada tidak mengenal korban. Peraturan perundang-undangan yang ada tidak menyediakan skema pemulihan bagi perempuan korban kekerasan seksual. Selain itu, skema perlindungan bagi korban kekerasan seksual masih sangat terbatas,” kata Bivitri.*

Baca juga: Kemen PPPA apresiasi Panja RUU TPKS komunikatif dengan pemerintah

Baca juga: Gojek buat pelatihan anti kekerasan seksual untuk mitra pengemudi


Pewarta: Indriani
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2022