Kami sungguh senang bisa menikmati berbagai makanan dan minuman secara gratis. Jika tidak ada pernikahan putri Sultan, kami tidak mungkin bisa menikmati sajian itu secara cuma-cuma,"
Yogyakarta (ANTARA News) - Rangkaian prosesi pernikahan Gusti Kanjeng Ratu Bendara dengan Kanjeng Pangeran Haryo Yudanegara yang mulai berlangsung Minggu (16/10) hingga Selasa (18/10) tidak hanya meriah di lingkungan Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Pernikahan putri bungsu Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat yang juga Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan Hamengku Buwono X itu juga dirayakan rakyat Yogyakarta dengan menyelenggarakan pesta rakyat pada 17-18 Oktober 2011.

Rakyat Yogyakarta menggelar pesta di sekitar Plasa Monumen Serangan Oemoem Satu Maret dengan beragam pertunjukan seni tradisional dan sajian makanan dari 150 angkringan yang bisa dinikmati pengunjung secara gratis di tempat tersebut.

Pada Senin (17/10) disediakan 75 angkringan, begitu pula pada Selasa (18/10). Angkringan tersebut merupakan sumbangan dari beberapa perusahaan, perguruan tinggi, organisasi profesi, komunitas hobi, komunitas sosial, dan individu.

"Angkringan itu merupakan swadaya masyarakat untuk ikut berbahagia dan merayakan pernikahan putri Sultan," kata Ketua Sekretariat Bersama (Sekber) Keistimewaan DIY Widihasto Wasana Putra.

Angkringan yang menyajikan nasi "kucing", tempe dan tahu goreng, tempe dan tahu bacem, pisang rebus dan goreng, serta minuman jahe, susu, kopi, teh, dan jeruk itu tampak dipadati warga dari berbagai usia.

Semua angkringan dipenuhi warga mulai dari anak-anak, remaja hingga dewasa yang ingin menikmati sajian tersebut.

"Kami sungguh senang bisa menikmati berbagai makanan dan minuman secara gratis. Jika tidak ada pernikahan putri Sultan, kami tidak mungkin bisa menikmati sajian itu secara cuma-cuma," kata seorang warga dari Sendangtirto, Berbah, Sleman, DIY, Sunardi (48).

Sunardi yang datang bersama istri dan dua anaknya itu mengatakan, dirinya senang bisa menyaksikan pentas seni sambil menikmati sajian di angkringan tanpa mengeluarkan uang sepeser pun.

"Ini benar-benar pesta rakyat, karena warga dapat menikmati suguhan pentas seni dan berbagai sajian di angkringan tanpa dipungut biaya," katanya.

Seni tradisional yang tampil dalam pesta rakyat antara lain kolaborasi theklek jathilan oleh Sanggar Melati Indah Gunung Kidul, nyanyi dan dolanan bocah Jogja Cerah, musik ansambel sekolah alternatif Booskid.

Selain itu, tari anak oleh Sanggar Kunang-kunang Bantul, tari ndolalak oleh Sanggar Bina Karya Mandiri Purworejo, tari Kijang (Sanggar Garuda) Bantul, dan tari Soyong (Sanggar Ceria).

Pada pukul 19.00-22.00 WIB diisi pertunjukan malam Sastra Malioboro #10 oleh Paguyuban Sastrawan Mataram yang dipimpin Sigit Sugito. Mereka akan membacakan sejumlah puisi karya Ragil Pragolapati yag hilang di Gua Langse Panggang, Gunung Kidul, DIY, 21 tahun lalu.

Dalam pertunjukan tersebut tampil sejumlah penyair, di antaranya Fauzi Abdul Salam, Erik Indranatan, Adji Muksin Dharmaji, Maria Widy Aryani, Syam Chandra, dan Hamdi Salad.

Acara pesta rakyat dilanjutkan pukul 22.00-24.00 WIB dengan kidung pandonga malam midodareni yang diisi dengan macapatan. Kegiatan itu dipimpin Ketua Pamulangan Sekar Macapat Kridhamardawa Keraton Ngayogakarat Hadiningrat Kanjeng Mas Tumenggung Projoswasono.

Materi macapat yang akan dilantunkan antara lain werdinipun surat Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, Kidung Jatimulyo, dan Kidung Pandonga untuk calon pengantin GKR Bendara dan KPH Yudanegara.

Pada Selasa (18/10) pukul 14.00-22.00 WIB akan ditampilkan berbagai kesenian dari DIY dan daerah lain di Indonesia seperti Grup Reog dari Pemkab Boyolali, tarian tradisional dari Dinas Pariwisata Solo.

Selain itu, tari Caci yang dipersembahkan oleh warga Kabupaten Manggarai, tari Likurai dari Nusa Tenggara Timur (NTT), tari Dayak, dan pantomim oleh Sanggar Sermin.

Menurut Widihasto, pesta rakyat adalah murni kegiatan budaya untuk memeriahkan dan merayakan pernikahan putri bungsu Sultan serta memasang penjor janur pengantin minimal enam meter dan bendera hobo.

"Penggunaan simbol seperti angkringan, penjor janur, dan bendera hobo adalah bentuk lain keistimewaan DIY," katanya.

Masyarakat selain menikmati pentas seni dan berbagai sajian di angkringan secara gratis, juga dapat menyaksikan prosesi pernikahan putri bungsu Sultan di sekitar tempat itu melalui videotron dan layar lebar.

Di tempat tersebut dipasang videotron yang secara langsung menayangkan prosesi pernikahan GKR Bendara dengan KPH Yudanegara. Selain di tempat tersebut, videotron dan layar lebar juga dipasang di sejumlah titik di Kota Yogyakarta.

"Videotron dan layar lebar itu di antaranya dipasang di depan Alun-alun Utara, Alun-alun Selatan, Benteng Vredeburg, dan simpang empat Kewek," kata Kepala Bagian Humas Pemerintah Provinsi (Pemprov) DIY Kus Kasriyati.

Dengan adanya videotron dan layar lebar tersebut, warga bisa menyaksikan prosesi pernikahan putri bungsu Raja Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat secara langsung di tempat-tempat itu.

"Warga bisa menyaksikan secara jelas prosesi pernikahan GKR Bendara dengan KPH Yudanegara," katanya.

Rangkaian prosesi pernikahan putri bungsu Gubernur DIY yang berlangsung sejak Minggu (16/10) hingga Selasa (18/10) itu dimulai dengan ritual "nyantri" bagi mempelai pria, siraman, midodareni, ijab qabul atau akad nikah, `panggih` (temu) pengantin, kirab pengantin, dan resepsi pernikahan di Kepatihan," kata putri sulung Sultan, GKR Pembayun.

Prosesi pernikahan tidak hanya dilakukan di keraton, tetapi juga di luar keraton, yakni kirab pengantin dari keraton menuju Kepatihan dan resepsi pernikahan di kompleks kantor gubernur DIY.

Kirab pengantin dari keraton menuju Kepatihan itu akan digelar Selasa (18/10) menggunakan sejumlah kereta yang ditarik beberapa kuda. Kirab akan melewati Alun-alun Utara, Jalan Trikora, Jalan Ahmad Yani, dan Jalan Malioboro.

"Kami berharap rakyat Yogyakarta dapat berpartisipasi aktif menyaksikan pesta rakyat dan kirab pengantin dengan menjaga ketertiban dan mengindahkan arahan petugas kepolisian dan aparat keamanan lainnya," kata Widihasto.
(B015*H010)

Oleh Bambang Sutopo Hadi
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011