Jakarta (ANTARA) - Selama 40 tahun bergelimang dengan dunia puisi bukanlah waktu yang pendek bagi seorang penyair dalam menyuarakan kegelisahan dan kegundahan hati. Berpuisi tak hanya membutuhkan ruang-ruang dalam diri untuk berkontemplasi namun konsistensi sikap, pikir dan keberpihakan.

Dalam kumpulan puisi atau antologi "Mata Elang Menabrak Karang" yang merangkum 75 puisi pilihan ini, penyair Pulo Lasman Simanjutak ingin menunjukkan konsistensinya dalam berpuisi bahkan sikapnya dalam memandang kehidupan di sekelilingnya selama rentang waktu empat dasa warsa proses kreatifnya.

Profesi keseharian yang bergerak di bidang jurnalisitik sangat membentuk kepribadian sang penulis sehingga tak heran jika puisi-puisi yang ditulisnya merekam peristiwa maupun kejadian yang dilihatnya, disaksikan, bahkan dialaminya dan tentu saja juga diamatinya untuk kemudian dilaporkan sebagai tulisan jurnalistik.

Beberapa judul karya puisi Lasman Simanjuntak dalam antologi Mata Elang Menabrak Karang yang merefleksikan profesi kejurnalistikannya yakni "Sungguh Air Mataku Menyelam Tujuh Hari di Selat Sunda","Duka Berdarah dari Tanah Gaza", "Setahun sudah Berlalu", "Pewarta Bertarung dalam Sarung" ataupun "Hujan, Hatiku Gelisah Ingin Turun ke Sawah".

Baca juga: Forum Sastra luncurkan antologi puisi Timur Jawa

Dalam puisi-puisi di atas nampak penyair ingin menyajikan kegelisahannya saat melihat (membaca) kejadian-kejadian yang menimpa anak-anak manusia di berbagai belahan dunia, seperti korban gelombang pasang atau tsunami yang terjadi di Selat Sunda beberapa tahun dalam "Sungguh Air Mataku Menyelam Tujuh Hari di Selat Sunda".

Tentu saja serangan virus Corona atau COVID-19 tak luput dari pengamatan si jurnalis yang dituangkan dalam "Setahun Sudah Berlalu".

Penulis yang sehari-hari juga aktif dalam kegiatan kerohanianpun banyak mengangkat kisah-kisah dalam kitab suci ke dalam syair-syairnya. Sebut saja "Sabat Berabu"," Manusia Takut Tebang ke Surga', "Taman Getsemani", "Perjamuan Kudus", ataupun "Perjalanan Terakhir Menuju Bukit Golgota".

Dalam sajak-sajak yang berlatar belakang rohani, sang penyair tak hanya ingin menunjukkan gelisahannya sebagai hamba namun juga kebahagiaan dalam jalan rohani yang dilaluinya. 

Beberapa sajak lain yang terhimpun dalam antologi ini juga terinspirasi dari kehidupan penulis sebagai seorang ayah, suami ataupun warga masyarakat biasa. Seperti dalam sajak "Sinyal Terbakar" penulis bahkan seperti melampiaskan kejengkelannya atau kemarahannya ketika tiba-tiba jaringan internet yang dia butuhkan ternyata mengalami gangguan. Sementara mungkin banyak laporan jurnalistik yang harus dia segera tayangkan.

Pulo Lasman Simanjuntak yang menyukai sajak sejak duduk di bangku SMP, namun pada awal 1980an sajak-sajaknya mulai disiarkan di sejumlah media massa baik surat kabar maupun majalah, bahkan ketika sastra memasuki dunia siber pun karya-karyanya juga merambah sastra siber.

Dalam kondisi pendami COVID-19 yang sudah hampir tiga tahun melanda negeri ini, nampaknya tak menyurutkan dirinya untuk konsisten dalam proses kreatif, khususnya dalam penulisan sajak ataupun puisi justru semakin produktif terutama melalui media siber.

Bisa jadi kondisi negeri ini membuatnya makin kreatif melalui imaji yang telah terasah, endapan dan renungan hati yang telah mendalam. Begitu juga surutnya sastra koran seiring tumbangnya media-media cetak akibat gempuran media online tak berarti mematikan kreatifitas untuk menyampaikan karya puisi kepada pembaca. Sebagaimana kredo yang dianutnya "Bagiku menulis puisi tidak pernah mati".

Baca juga: Antologi "Mengheningkan Puisi" Benny Benke siap temui pembaca

Baca juga: MaknaKata rilis buku kumpulan puisi "Antologi Bumi Bercerita"

Baca juga: Puluhan penyair terbitkan buku puisi sambut 15 tahun Damai Aceh

Pewarta: Subagyo
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022