Lahan yang sudah ada cukup dan airnya dari gunung
Kab. Tanah Laut, Kalsel (ANTARA) - Hamparan sawah menyambut pengunjung yang datang ke Desa Telaga di Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan, menunjukkan pemandangan khas pedesaan dengan perbukitan di kejauhan yang dipenuhi pohon-pohon.

"Dulu tidak seperti ini, dulu itu gundul. Ditebang itu dulu buat buka lahan, ada yang terbakar," ujar Ketua Kelompok Tani Hutan (KTH) Subur Makmur Abdul Basir, menunjuk pada perbukitan hijau di belakang desa.

Sebelum 2013, aksi pembakaran dan pemotongan pohon kerap terjadi di wilayah yang berada di Kecamatan Bajuin itu. Hutan lindung yang berada di kawasan desa kerap menjadi sasaran praktik ladang berpindah dan pembakaran disengaja untuk setelahnya menjadi lahan untuk sapi merumput.

Meski praktik itu telah berhenti dilakukan dalam beberapa tahun terakhir, kebakaran lahan itu meninggalkan kesan tersendiri untuk Basir.

KTH Subur Makmur yang diketuainya sempat terdampak dalam kebakaran lahan di wilayah tersebut. Berdiri pada 2013, KTH itu sempat mati suri selama beberapa tahun sebelum kembali aktif pada 2017.

"Dulu itu sempat putus asa, jadi pas ada program penanaman kami sudah nanam di atas, tanaman buah waktu itu, sekalinya terbakar habis. Setelah itu putus asa," tuturnya.

Terbakarnya ribuan pohon yang mereka tanam itu sempat menurunkan semangat anggota KTH, kekecewaan yang membuat mereka sempat berhenti berusaha untuk memajukan berbagai usaha hasil hutan bukan kayu (HHBK).

Pada 2017, kelompok itu kembali bangkit setelah terjadi regenerasi anggota dan dengan binaan dari Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tanah Laut yang didukung Proyek Forest Investment Program 2 (FIP 2) atau Program Investasi Hutan Proyek 2 dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).

Mendapat dukungan bantuan peralatan, KTH Subur Makmur kemudian mulai meluaskan usaha budidaya jamur tiram, madu kelulut dan madu cerana di lahan seluas 79 hektare yang menjadi wilayah kerja mereka. Dilakukan juga pengembangan produk turunan jamur seperti jamur krispi dan bakso jamur.

Masyarakat desa itu sebelumnya telah memiliki usaha jamur tiram dan madu kelulut, tapi bantuan dari KPH Tanah Laut dan FIP 2 mendorong perluasan budidaya termasuk adanya kumbung atau rumah budidaya jamur yang baru.

Hasilnya mulai terlihat dengan telah diproduksi 224,95 kilogram jamur tiram pada 2020 dan 311,65 kilogram jamur pada 2021 yang setiap kilogram dihargai Rp18.000. Dalam periode tersebut mereka menghasilkan pendapatan sekitar Rp4 juta dan Rp5 juta.

Sementara untuk produk turunan jamur seperti jamur krispi, atau jamur yang digoreng garing sebagai camilan, telah dihasilkan 85 kilogram pada 2021 dan 10 kilogram sampai Maret 2022. Harga jual untuk jamur krispi adalah Rp120.000 per kilogram.

Untuk jamur krispi telah dihasilkan Rp10,2 juta pada 2021 dan Rp1,2 juta pada tahun ini sampai Maret.

Baca juga: Kebangkitan pemanfaatan kemiri di Tanah Laut, Kalsel

Baca juga: Transformasi Aliansyah, bekas pembalak jadi pengelola hutan lestari
Anggota KTH Sumber Makmur memperlihatkan hasil panen jamur tiram yang dikembangkan oleh KTH di Desa Telaga, Kabupaten Tanah Laut, Kalsel, Rabu (6/3/2022) (ANTARA/Prisca Triferna)


Kini mereka juga telah memulai usaha budidaya kopi untuk mendorong diversifikasi produk dan membantu meningkatkan perekonomian anggota KTH, selain penghasilan utama mereka sebagai petani.

Adanya pengelolaan hutan lestari yang dilakukan oleh KTH Subur Makmur itu juga secara perlahan telah mengubah perilaku masyarakat untuk mulai menjaga hutan yang masuk dalam kawasan lindung itu.

Kini masyarakat sekitar sudah tidak lagi masuk ke hutan untuk mengambil kayu. Bahkan, kata Basir, ketika mereka ingin mengambil kayu kering masyarakat desa akan meminta izin dari anggota KTH Subur Makmur.

Didukung dengan rehabilitasi daerah aliran sungai (DAS), Gunung Katunun yang berada di wilayah desa itu kini kembali hijau. Yang tadinya dipenuhi oleh alang-alang kini kembali dipenuhi pohon-pohon yang juga dapat dimanfaatkan buahnya untuk masyarakat.

Kembalinya hijau perbukitan di sekitar desa juga berdampak dengan sumber air desa, termasuk untuk mengairi lahan persawahan yang menjadi salah satu mata pencaharian utama masyarakat.

"Lahan yang sudah ada cukup dan airnya dari gunung. Kehidupan di sini semua menggunakan air gunung itu," katanya.
Ketua KTH Gunung Birah H. Rosmani ketika ditemui di wilayah wisata Gunung Birah di Kabupaten Tanah Laut, Kalsel, Rabu (6/3/2022) (ANTARA/Prisca Triferna)


Baca juga: Ini capaian TORA dan perhutanan sosial di 2021

Baca juga: Presiden: Pengelolaan hutan padukan aspek ekonomi dan sosial


Perubahan perilaku

Dampak adanya pengelolaan hutan lestari yang berpengaruh kepada kehidupan masyarakat juga dirasakan oleh masyarakat di Desa Kandangan Lama, Kecamatan Panyipatan di Kabupaten Tanah Laut.

Usaha jasa lingkungan wisata alam yang dilakukan oleh KTH Gunung Birah berhasil mengubah pola pikir masyarakat bahwa alam tidak hanya dapat dimanfaatkan HHBK tapi juga untuk wisata alam.

Ketua KTH Gunung Birah H. Rosmani mengatakan inisiatif untuk memulai usaha jasa lingkungan muncul ketika kelompok pecinta alam di desa melihat daerah lain di Tanah Laut sudah memulai usaha wisata.

Padahal, Gunung Birah juga memiliki pemandangan yang indah dari puncaknya di ketinggian 367 meter di atas permukaan laut. Dari puncaknya dapat terlihat hamparan hutan, sawah dan laut, mengingat wilayah itu berdekatan dengan pesisir ujung Kalimantan Selatan.

Untuk dapat mengembangkan wisata tersebut, mereka menggalang dukungan masyarakat desa dimulai dari karang taruna.

Dimulai dari 2017, untuk mendapat kepastian hukum dalam melakukan pemanfaatan area hutan lindung mereka kemudian mendapat pembinaan dari KPH Tanah Laut. Mereka juga telah mendapatkan SK perhutanan sosial SK.8686/MENLHK PSKL/PKPS/PSL.0/12/2021 pada 2021.

Gunung Birah sendiri dulu merupakan kawasan ladang berpindah oleh masyarakat di sekitar daerah tersebut, mengakibatkan hilangnya tutupan vegetasi di perbukitan sekitar.

Masuknya KPH Tanah Laut dimanfaatkan oleh Rosmani dan anggotanya untuk mendorong sosialisasi pentingnya kelestarian alam dan lingkungan kepada masyarakat sekitar terutama pelaku ladang berpindah.

"Karena debit air pada waktu ladang berpindah itu sangat susah di sini dan sekarang, Alhamdulillah, dengan berjalannya waktu sudah beberapa tahun kami di sini ladang berpindah hampir-hampir tidak ada lagi, sudah sadar mereka," ujarnya.

Menjadikan Gunung Birah sebagai destinasi wisata, yang sebelum pandemi sempat dikunjungi sekitar 9.700 wisatawan pada 2019, bukanlah semudah membalik telapak tangan. KTH Gunung Birah, yang terbentuk resmi pada 2018, menghadapi pertentangan dari beberapa elemen masyarakat karena prasangka bahwa wisata identik dengan "maksiat".

Menghadapi hal tersebut, KTH kemudian mulai melakukan pendekatan salah satunya dengan menyisihkan pendapatan dari jasa wisata itu untuk pengembangan masyarakat desa dan madrasah di sekitar kawasan.

Hal itu membuat masyarakat semakin terbuka dengan usaha yang dilakukan KTH Gunung Birah di area pemanfaatan seluas 250 hektare. Bahkan, kini terdapat potensi lapangan kerja bagi masyarakat desa terutama pemuda dan warga yang berjualan ketika ramai pengunjung.

Dari jasa wisata lingkungan itu, KTH Gunung Birah menghasilkan Rp146 juta pada 2020 dan Rp69 juta yang didapat dari penjualan tiket Rp15.000 per orang dan penyewaan peralatan seperti tenda. Pada 2022, kunjungan wisata sampai Maret telah menghasilkan Rp12,6 juta.

Mereka juga mengembangkan usaha madu kelulut termasuk yang dapat dinikmati langsung dari stup, kopi dan gula merah.

Meski kunjungan wisatawan yang kebanyakan berasal dari Kalimantan Selatan dan provinsi tetangga Kalimantan Tengah sempat turun akibat pandemi, menjadi total sekitar 4.600 orang pada 2021 dan 842 orang sampai Maret 2022, dia yakin turis akan meningkat seiring pelonggaran kebijakan pandemi.

Dengan penguatan pemanfaatan jasa lingkungan didukung oleh KPH Tanah Laut dan KLHK lewat FIP 2 serta pemerintah daerah dia mengharapkan dapat mendorong kemajuan anggota KTH Gunung Birah dan masyarakat sekitar.

Baca juga: Derap kelompok tani hutan Kendilo kelola hutan lestari

Baca juga: Menteri LHK paparkan pengelolaan perhutanan sosial di seminar Unhas


 

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022