Hal ini karena kerangka pengawasan dan manajemen risiko di industri asuransi belum sematang perbankan
Jakarta (ANTARA) - Calon Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) merangkap Anggota Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Pantro Pander Silitonga menilai perlu adanya pematangan kerangka pengawasan dan manajemen risiko industri asuransi.

"Hal ini karena kerangka pengawasan dan manajemen risiko di industri asuransi belum sematang perbankan," ungkap Pantro dalam uji kelayakan dan kepatutan di Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Jakarta, Kamis.

Untuk kerangka manajemen risiko, ia menyebutkan sudah terdapat kerangka khusus untuk bidang perbankan yaitu BASEL III, sedangkan di industri asuransi belum terdapat kerangka khusus, sehingga masih mengadopsi ISO 31.000 atau COSO yang berlaku umum dan cenderung dipakai di sektor manufaktur.

Kemudian, dari segi standar kompetensi manajemen risiko, perbankan sudah memiliki sertifikasi khusus manajemen risiko seperti BSMR level 1-5, sementara di industri asuransi belum terdapat standar yang spesifik karena masih memakai sertifikasi CRMS dan LSPMR yang berlaku di semua sektor industri.

Pria yang merupakan Komisaris Utama Indonesia Financial Group (IMF) ini pun menambahkan, dari segi lembaga penjamin, perbankan sudah memiliki Lembaga Penjaminan Simpanan (LPS), sedangkan belum ada lembaga yang menjamin polis asuransi.

"Padahal, keduanya sama-sama mengelola dana pihak ketiga (DPK)," tuturnya.

Selain pematangan kerangka pengawasan dan manajemen risiko, Pantro berpendapat diperlukan pembenahan dalam asuransi jiwa dan asuransi umum yang memiliki cukup banyak isu.

Di asuransi jiwa, terdapat permasalahan seperti sebagian besar produk yang masih dijual sebagai investasi, yakni pada 2020 sebesar 68 persen berupa asuransi unit link, 18 persen berupa asuransi dwiguna (endowment), serta 14 persen asuransi proteksi.

Untuk asuransi unit link, terdapat cukup banyak nasabah yang kecewa lantaran janji hasil investasi yang tinggi tidak terealisasi, terdapat komponen biaya yang kurang transparan baik itu biaya komisi yang tinggi, dan biaya asuransi yang meningkat seiring dengan usia.

Sementara untuk produk endowment, lanjut dia, konsumen juga merasa kecewa karena perusahaan gagal menepati janjinya, seperti PT Asuransi Jiwasraya yang memberikan janji hasil investasi sebesar 9-13 persen.

"Namun, karena pengelolaan aset dan liabilitas yang tidak baik, akhirnya perusahaan mengalami insolvensi dan gagal bayar yang sekarang kami sedang tangani," tuturnya.

Jika dilihat dari asuransi umum, sambung Pantro, terjadi perang harga yang tidak sehat, seperti biaya akuisisi asuransi kendaraan bermotor yang melebihi tarif yang telah ditentukan, yakni 25 persen.

Begitu pula dengan asuransi kredit di mana premi yang makin lama semakin turun, tetapi komisi semakin naik dengan cakupan risiko yang ditanggung makin luas, sehingga perlu dikaji kembali apakah perlu adanya klasifikasi perusahaan asuransi umum, seperti halnya di perbankan.

Maka dari itu ia berharap sektor IKNB, terutama asuransi perlu ditata kembali.

Baca juga: Nasabah bank perlu diarahkan naik kelas jadi nasabah pasar saham
Baca juga: Mirza Adityaswara harap OJK tak lagi kaku dan bisa bertransformasi
Baca juga: Mahendra Siregar sebut sudah izin Presiden ikuti seleksi Ketua OJK

Pewarta: Agatha Olivia Victoria
Editor: Kelik Dewanto
Copyright © ANTARA 2022