Jakarta (ANTARA News) - Kehidupan dalam masyarakat di negeri ini, mulai di pedesaan hingga perkotaan, dan secara nyata maupun terselubung tampak tetap kental dengan rasa senasib sepenanggungan dengan saling mengingatkan gugat kepekaan beretika dalam berinteraksi ke dalam maupun ke luar.

Dalam masyarakat di negeri ini, sama halnya dengan masyarakat Asia umumnya, seorang anggota masyarakat sejak lahir berada dalam lingkungan jaringan keterkaitan dan dapat dikatakan jarang sekali dalam kesendirian.
           
Pada umumnya, bangsa Indonesia lebih banyak menjiwai suatu budaya ke dalam (inward culture) dengan sejumlah ciri, antara lain menerima dan menahan diri, dengan nilai-nilai yang menonjol berupa kebaikan dan kebajikan, menekan keegoan, sensitif, moderat dalam bersikap langsung, pasrah dan mencari kedamaian/harmoni dalam bermasyarakat.

Budaya ke dalam itu meskipun di permukaan, terutama di kota yang makin terbuka pada lintas budaya (cross cultural interaction), dapat dikatakan tetap menjiwai budaya Timur dalam proses manajemen dan kepemimpinan.

Suatu model ke-Indonesia-an dalam manajemen masih belum dibakukan melalui riset berskala nasional yang menggali pemahaman tentang manajemen yang mencerminkan nilai budaya setempat (indigenous cultural values) dan landasan histories (historical heritage), sehingga masih perlu diteliti   tanpa tergesa-gesa dengan segala macam pencitraan diri, dan dalam suatu jangka waktu yang jelas.  

Ketika gagasan ini didiskusikan dengan beberapa ekskutif dan akademisi, apakah gaya manajemen yang dialami, dioperasikan sudah mencerminkan ke Indonesiaan? Terungkap ketidakjelasan respons. Ada jawaban “kalau terlalu kebarat-baratan, ya perlu paradigma baru." Paradigma yang bagaimana?  Jawaban mereka pun tidak jelas. Karena itu perlu mendefinisikan paradigma yang riil.  

Paradigma menurut definisinya merupakan sejumlah aturan dan regulasi (tertulis maupun tak tertulis) yang memberitahukan semua pihak tentang bagaimana berperilaku dalam batasan tersebut agar terfokus dalam mencapai keberhasilan. Secara lebih spesifik, paradigma merupakan cara bagaimana semua pihak melihat dan memandang dunia yang membawa berperilaku secara lebih tepat dan kredibel.

Pengamatan menunjukkan lingkungan manajemen, baikitu di pemerintahan, bisnis maupun kemasyarakatan, masih saja merupakan suatu rangkaian strategi, struktur dan sistem yang rasional. Sekalipun tidak nyata dalam setiap individu masih mencuat kultur organisasi “dari atas ke bawah” (top-down) mempengaruhi proses manajemen dalam pengambilan keputusan.

Masyarakat Indonesia menunjukkan dan masih mempraktikkan interaksi yang sangat mempribadi (highly personalised), suatu ciri yang tampaknya juga terdapat di kebanyakan negara Asia. Sistem nilainya adalah membangun harmoni, mempreservasi termasuk “penyelamatan muka”.  

Dalam proses manajemen ke dalam maupun ke luar bentuk bentuk sopan santun dan saling menghargai dan menghormati berarti menjaga harmoni dengan menjauhkan perlakuan kasar dan yang tidak beradab. Dalam menumbuhkan harmoni rasa malu (public shame) dianggap hukuman yang lebih berat daripada rasa bersalah (guilty feeling).
 
Ciri manusia  Indonesia dalam organisasi yang positif adalah dorongan hati untuk bekerja keras, hemat, penampilan sederhana (low profile) dan senantiasa mau lebih berpengetahuan. Tanpa menonjolkan diri, jiwa kewirausahaan dalam arti inovatif dan kreatif, mencari peluang dan membangun berbagai kombinasi baru dengan sumber daya yang ada dalam jangkauan (new combination of resources), termasuk teknologi informasi dan proses teknologi yang menurut mereka memberi manfaat (creation of benefit).

Model yang perlu membaku adalah manajemen yang layak berakar dalam sejarah, kebudayaan dan simbolik ke-bhinekaan Indonesia, di mana dalam model itu tercermin keterbukaan atasan sebagai panutan yang menyerap modernitas, efisiensi, produktivitas dan berteknologi informasi, serta mengutamakan proses menuju hasil guna.

Dengan membuka diri, maka berarti memberdayakan manajemen menengah sebagai penggerak kemajuan, etos kerja dan disiplin. Suatu kesadaran baru dan paradigma baru dalam arti middle-up-down sambil membangun harmoni dan paradigma baru itu tidak berarti membekukan jiwa kewirausahaan

Peranan pendidikan formal maupun nonformal harus mampu menggerakkan “budi pekerti” yang diawali dalam lingkungan keluarga,dan kelompok pemikiran secara kreatif/inovatif, inkuisitif dan prediktif sebagai sarana. Makin  mendesak membangun daya pikir outside the box, di luar kungkungan struktural formal dan seremonial .  

Manajemen akan menjadi efektif melalui keterampilan mengintegrasikan nilai-nilai yang ada dalam suatu teknologi tertentu dengan apa yang membentuk identitas individual dalam komunitas tersendiri. Dalam kaitan ini makna “pengembangan sumber daya manusia” tidak boleh menjadi “bias teknikal” (technical-biased) yang berpola pada standar buku-buku, ataupun studi kasus manajemen Barat.   

Setiap individu sebagai anggota masyarakat senantiasa harus menanggapi perubahan dan evolusi  dalam perkembangan waktu (over time). Salah satunya adalah membangun proses menata diri dalam  kebersamaan kelompok dalam arti suatu transformasi diri (self-transformation) tanpa kehilangan budayanya.

Setiap organisasi dimulai dari yang besar harus menciptakan pengetahuan baru. Kebanyakan organisasi besar, pemerintahan, bisnis dan kemasyarakatan di negeri ini masih saja menghadapi  ambiguitas dalam prosesnya, karena masih menganut model Barat hierarkis kuno, yakni manajemen puncak (top executives) dalam pengambilan keputusan dari atasan ke bawahan (top-down decision) dan laporan dari bawah ke atasan (bottom-up reporting), sementara peranan manajemen menengah  dibatasi sebagai "penyalur".

Suatu organisasi tidak akan mampu menciptakan  pengetahuan tanpa perorangan (individuals). Organisasi mendukung perorangan yang kreatif dan menyediakan sarananya untuk menciptakan pengetahuan. Oleh karena itu, penciptaan pengetahuan organisasi sebagai suatu proses oleh perorangan merupakan bagian dari jaringan pengetahuan dalam organisasi.  

Ke masa depan, bahkan ada yang menuntut harus berlaku saat ini, dalam memberdayakan manajemen dari kalangan manajer menengah ke atasan maupun bawahan (middle-up-down) masing-masing organisasi mengembangkan sejumlah hal, berupa:
 
1. keunggulan individual (individual excellence) dalam berprestasi yang disinergikan dalam kerja tim lintas fungsional,
2. kerja tim (team work) lintas fungsional dalam mencapai tujuan,
3. disiplin kerja dan keperhatian dan ikut merasakan (care and concern),
4. kepemimpinan partisipatif dengan mengutamakan proses menuju hasil/produk dengan mengutamakan middle-up-down,
5. saling  mengingatkan kepekaan menerapkan etika dalam berinteraksi ke dalam maupun ke luar.

Manajemen, disadari ataupun tidak, senantiasa berurusan dengan  manusia. Keterampilan manajerial  menjadi efektif kalau mengintegrasikan nilai-nilai kebangsaan di negeri ini, termasuk dalam budi pekerti, yang pada gilirannya menumbuhkan identitas individual dalam komunitas bangsa Indonesia. (*)

*) Bob Widyahartono, MA (bobwidya@cbn.net.id) adalah pengamat ekonomi dan manajemen, Lektor Kepala Fakultas Ekonomi Universitas Tarumanegara (FE Untar) Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011