Mekkah (ANTARA News) - Setiap jamaah haji mendambakan untuk bisa mencium Hajar Aswad, batu hitam yang tertanam di pojok Selatan Kabah.

Saya pernah menciumnya sewaktu umroh tahun 2008, dan pada musim haji tahun ini, saya kembali ingin menciumnya.

Meskipun bukan rukun atau wajib haji dan umroh, ada sejumlah alasan mengapa saya, kalau memungkinkan, harus kembali mencium Hajar Aswad.

Pertama, saya ingin merasakan untuk kesekian kalinya emosi relijius saya yang berkobar-kobar saat berusaha bersama jutaan jemaah lainnya mendekat ke pintu Kabah dan merengkuh serta mencium batu hitam itu.

Hajar Aswad sangat lekat dengan ingatan masa kanak-kanak saya. Waktu kecil, ayah saya suka memanggil saya dengan panggilan "Aswad". Katanya, kulit saya yang agak hitam mirip dengan batu yang menempel di Kabah. Meskipun hitam, ayah yakin saya akan memiliki hati dan jiwa yang putih dan bersih.

Saya masih ingat betul ayah selalu menceritakan bahwa menurut sabda Rasulullah "Hajar Aswad itu diturunkan dari surga, warnanya lebih putih daripada susu, dan dosa-dosa anak cucu Adam-lah yang menjadikannya hitam".

Oleh karena itu, ayah berpesan agar saya memiliki hati yang bersih. Dosa-dosa manusia saja bisa menghitamkan batu, apalagi pengaruhnya terhadap hati manusia.

Alasan kedua dan ini yang menjadi alasan utama adalah saya ingin mengikuti sunah nabi Muhammad dan nabi-nabi sebelumnya. Menurut riwayatnya, Hajar Aswad merupakan batu mulia dari surga yang diberikan kepada Nabi Ibrahim agar diletakkan di salah satu sudut Kabah.

Saat Kabah direnovasi di masa Nabi Muhammad, Rasulullah mengambil batu itu dan meletakkannya kembali di tempat semula dengan tangannya sendiri. Kemudian Rasulullah mencium batu surga itu sebagaimana dilakukan nabi-nabi sebelumnya. Itulah asal mula mengapa jemaah haji berusaha untuk mencium Hajar Aswad.

Pada musim haji sekarang ini saya ingin kembali mencium Hajar Aswad karena batu hitam itu menjadi tempat bertemunya bibir para nabi, para sahabat, orang-orang saleh, para haji dan mu`tamirin sepanjang sejarah. Umar bin Khatab, sahabat nabi, termasuk yang diriwayatkan sering datang ke Hajar Aswad untuk menciumnya.

Terkait dengan hajar Aswad, Umar berkata: "Sesungguhnya aku tahu bahwa engkau adalah batu yang tidak membahayakan dan tidak pula memberi manfaat. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciummu, maka sekali-kali aku tidak akan menciummu".

Umar mengatakan demikian mengingat saat itu orang-orang baru saja meninggalkan menyembah berhala, sehingga dikhawatirkan orang-orang bodoh akan mengira bahwa mencium Hajar Aswad itu merupakan bagian dari ibadah, menyembah dan mengagungkan batu-batuan, sebagaimana orang-orang Arab pada masa jahiliyah.

Umar menjelaskan bahwa mencium Hajar Aswad tiada lain semata-mata mengikuti sunah nabi, bukan karena batu tersebut dapat membawa bahaya atau mendatangkan manfaat seperti yang diyakini orang jahiliyah terhadap berhala-berhala


Tidak gampang

Seperti Umar, saya pun ingin mengikuti sunah nabi. Tapi bagaimana bisa kembali mencium Hajar Aswad bukan perkara yang gampang.

Sebanyak lebih dari tiga juta jemaah haji datang ke Tanah Suci Mekkah tahun ini. Masjidil Haram dipenuhi lautan manusia yang melakukan tawaf dan mengucap talbiyah. Sebagian besar dari para jemaah berusaha untuk mencium Hajar Aswad.

Oleh karena itu, mendekat dan mencium Hajar Aswad pada musim haji jauh lebih sulit ketimbang waktu umroh.

Saya kemudian bertanya ke sejumlah orang bagaimana caranya bisa mencium Hajar Aswad dalam situasi lautan manusia yang berdesak-desakan. Adakah tip atau kiat-kiat khusus menerobos jutaan jemaah yang sedang tawaf keliling Kabah dan menyelinap ke arah Hajar Aswad?

"Coba saja pakai joki," kata Unang Wahyudi, petugas haji asal Tasikmalaya, Jawa Barat.

"Joki? Maksudnya?" saya tidak mengerti.

"Ya pakai joki seperti joki 'three in one' di Jakarta," katanya.

Unang mengaku sukses mencium Hajar Aswad atas jasa joki para mukimin yang mengaku asal Madura. Ia pun bercerita bahwa saat ia beberapa kali gagal dan terpental dalam upayanya mencium Hajar Aswad, seseorang yang berbahasa Indonesia menyapa dan menyatakan akan membantu. Tentu saja Unang gembira dan menyambutnya.

Lalu orang yang mengaku joki Hajar Aswad itu memanggil tiga temannya yang "stand-by" di Hijir Ismail. Dikawal dan dilindungi empat joki, Unang menyibak para jemaah lain dan menyelusup mendekati pintu Kabah. Berkat bantuan joki tersebut, Unang bisa beberapa detik mengusap dan mencium Hajar Aswad. Betapa gembira dan senang hatinya Unang sampai ia menitikkan air mata.

Untuk merayakan keberhasilan mencium Hajar Aswad, para joki mengajak Unang untuk bersama-sama shalat sunah. Baru setelah shalat, para joki mulai bicara soal "hadiah".

"Ya seikhlasnya saja. Tapi biasanya kami masing-masing dapat 200 riyal atau 800 riyal berempat," kata si pimpinan joki. Jika ditukar rupiah, 800 riyal sama dengan sekitar Rp1,8 juta.

Kepala Daerah Kerja Mekkah Panitia Haji Indonesia Arsyad Hidayat mengatakan ada kelompok joki yang meminta bayaran 1000 riyal. Para joki itu adalah mukimin yang umumnya orang yang mengaku dari Madura, Banjar atau Nusa Tenggara Barat. Modus operandi mereka ikut tawaf sambil mencari calon pelanggan potensialnya. Jika ada jemaah Indonesia yang tampak bersemangat mendekati Hajar Aswad dan terpental-pental, itulah target pasar mereka.

"Ada juga yang proaktif mendatangi maktab-maktab dan memberikan kartu nama. Jika perlu joki untuk cium Hajar Aswad, hubungi kami," kata Abdul Kholik, seorang pengurus Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI).


Di simpang jalan

Hati saya di persimpangan jalan: apakah saya akan menggunakan jasa joki Hajar Aswad sebagaimana saya sering menggunakan jasa joki 'three in one' di Jakarta? Saya mengambil joki three in one untuk alasan praktis tidak mau melanggar aturan wajib berpenumpang tiga orang. Itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama atau persoalan ibadah.

Nah, kalau saya mengambil joki Hajar Aswad, jelas terkait dengan persoalan ibadah. Saya menimang-nimang dengan seksama. Saya baca buku-buku terkait dengan adab dan etika mencium Hajar Aswad.

Salah satu adab menyebutkan bahwa dilarang menyakiti dan saling mendorong, sebab mencium Hajar Aswad adalah sunah, sedangkan menghindari dari menyakiti orang lain adalah kewajiban.

"Tidak boleh mengerjakan sunah dengan meninggalkan kewajiban," kata Dr. Muhammad Ilyas Abdul Ghani, penulis buku Sejarah Mekkah.

Akhirnya saya putuskan untuk tidak menggunakan jasa joki Hajar Aswad.

Jika Allah mengizinkan, saya bisa kembali mencium batu hitam itu atas ihtiar dan upaya saya sendiri. Jika pun tidak memungkinkan untuk merengkuh Hajar Aswad, saya bisa bertakbir dan melambaikan tangan ke arahnya.

Sebagian besar yang melakukan tawaf tidak bisa mencium Hajar Aswad. Untuk itu mereka melambaikan tangan ke arahnya sambil mengucap takbir.

Saya kira bertakbir dan tidak menyakiti saudara muslim lain adalah lebih disukai ketimbang berusaha mencium Hajar Aswad memakai jasa joki. Dalam upaya menjaga dan mengarahkan kliennya menuju Hajar Aswad, para joki itu terkadang menerobos dan menerabas.

Tidak jarang pundak jemaah lain kena sikut atau terdorong sehingga mengganggu orang-orang yang lagi tawaf keliling Kabah. Kekhusuan ibadah dinodai oleh adanya kelompok joki yang kadang memotong aliran tawaf para jemaah.

Jika para joki itu ketahuan aksinya, aparat keamanan di Masjidil Haram bisa menghukum dan memenjarakannya.

Joki Hajar Aswad adalah perbuatan ilegal di mata hukum Arab Saudi dan juga perbuatan yang bertentangan dengan adab dan etika mencium Hajar Aswad.

Sekarang ini, di samping Hajar Aswad dibangun teras agak menonjol untuk tempat naik para polisi guna memudahkan pengaturan orang-orang yang hendak mencium batu hitam itu sekaligus mengawasi dan menangkap para joki.

"Janganlah berdesak-desakan. Haji, jangan menyakiti atau disakiti," begitu kata polisi penjaga Hajar Aswad kepada jemaah yang berebut mendekat dan mencium Hajar Aswad.

Para polisi yang disebut askar itu tidak menyadari kalau di antara para jemaah yang berdesak-desakan itu terdapat kelompok joki Hajar Aswad yang sedang mengawal kliennya mencium batu hitam dari sorga itu.
A017/A025

Pewarta: Akhmad Kusaeni
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011