Jakarta (ANTARA) - Jepang tetap melanjutkan rencananya untuk membuang air limbah radioaktif dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi yang lumpuh ke laut meski menuai sejumlah penolakan di tingkat lokal maupun internasional.

"Air terkontaminasi yang dilepaskan ke laut itu akan menyebar ke seluruh Samudra Pasifik dalam 10 tahun dan memengaruhi hampir semua laut kita," ujar anggota parlemen Korea Selatan (Korsel) Seo Sam-seok dalam sebuah forum pada Senin (11/4) yang mencari cara untuk bekerja sama dengan negara-negara tetangga guna mengatasi rencana Jepang terkait pembuangan air limbah nuklir pada musim semi tahun depan.

"Pencemaran laut tidak dapat dihindari, sehingga pemerintah dan kalangan politik harus bertindak proaktif demi keselamatan masyarakat," imbuhnya.

Para aktivis sipil di Korsel juga menyuarakan kekhawatiran mereka lewat unjuk rasa. Pohang Citizens Behavior, yang terdiri dari enam kelompok sipil dan masyarakat, menggelar unjuk rasa menentang rencana Jepang tersebut pada pekan lalu.

Kota pelabuhan itu diperkirakan akan menjadi salah satu area penangkapan ikan yang paling parah terdampak air tercemar tersebut.

Pemerintahan Moon Jae-in saat ini telah melarang impor produk-produk laut yang ditangkap di perairan Jepang di dekat Prefektur Fukushima.
 
Orang-orang berunjuk rasa menentang keputusan Jepang untuk membuang air limbah radioaktif dari Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi yang lumpuh ke Samudra Pasifik di luar kantor Kedutaan Besar Jepang di Seoul, Korea Selatan, pada 14 April 2021. (Xinhua/Xu Ruxi)Foto dokumen yang diabadikan pada 12 Oktober 2017 ini menunjukkan sejumlah tangki berukuran besar yang menyimpan air limbah radioaktif di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi di Prefektur Fukushima, Jepang. (Xinhua)


Keputusan pemerintah Jepang akan membahayakan keselamatan lingkungan maritim di negara-negara tetangga, tutur Anna Malindog-Uy, peneliti di wadah pemikir Studi Strategis Filipina-BRICS, seraya menyatakan bahwa keputusan itu dibuat "secara sepihak tanpa konsultasi yang memadai dengan negara-negara tetangga."

"Jika ada yang salah dengan rencana tersebut, negara-negara berkembang seperti Filipina, negara saya, pasti akan terkena dampak buruk dan dibiarkan sendiri dalam menanggung konsekuensi negatif yang muncul," tuturnya.

"Jepang harus berpikir dua kali sebelum melanjutkan rencananya dan berkonsultasi secara cermat dengan negara-negara yang secara langsung akan terdampak oleh keputusan itu," ujar peneliti tersebut.

Air limbah itu tidak bisa dipisahkan dari elemen radioaktif tritium lewat dua metode pengolahan yang digunakan di Fukushima, yakni penyaringan dan pengolahan kimia, kata Maria Rosa Beccia, ahli kimia sekaligus peneliti di Universitas Cote d'Azur kepada harian La Croix.

Cavince Adhere, akademisi hubungan internasional yang berbasis di Kenya, menunjukkan bahwa banyak studi ilmiah yang menghubungkan elemen radioaktif dalam kandungan air itu dengan risiko kesehatan masyarakat.

"Mengingat adanya keterkaitan antara jalur air dan sistem pangan di dunia, langkah Jepang tersebut dapat memengaruhi jutaan orang di tempat yang sangat jauh, termasuk Kenya," urai Adhere.

"Jepang sedang membahayakan dunia lewat beragam konsekuensi yang meluas akibat pelepasan nuklir tersebut," imbuhnya.

Sudah setahun sejak Jepang secara sepihak mengumumkan keputusannya untuk membuang air limbah radioaktif yang terakumulasi di PLTN Fukushima Daiichi yang dilanda krisis ke Samudra Pasifik.
 
Foto dokumen yang diabadikan pada 12 Oktober 2017 ini menunjukkan sejumlah tangki berukuran besar yang menyimpan air limbah radioaktif di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi di Prefektur Fukushima, Jepang. (Xinhua


Pada Desember 2021, Tokyo Electric Power Company, operator PLTN itu, mengajukan proposal kepada Otoritas Regulasi Nuklir Jepang dengan rencana terperinci untuk membuang air yang terkontaminasi tersebut.

Rencana kontroversial itu diusulkan untuk dimulai pada musim semi 2023.

Penanganan air yang terkontaminasi nuklir dari Fukushima bukanlah urusan pribadi Jepang, ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian. Sebaliknya, hal itu memberikan dampak pada lingkungan maritim dan kesehatan masyarakat di seluruh dunia.

Zhao menambahkan bahwa Jepang harus memperhatikan seruan negara-negara tetangga dan komunitas internasional dan membatalkan keputusannya terkait pelepasan air yang tercemar itu ke laut.

"Jepang tidak boleh sembarangan memulai pelepasan (air tercemar) itu ke laut sebelum mencapai konsensus dengan para pemangku kepentingan dan institusi internasional yang relevan melalui konsultasi penuh," kata Zhao. 
 

Pewarta: Xinhua
Editor: Desi Purnamawati
Copyright © ANTARA 2022