Jakarta (ANTARA News) - Hutan pada 20 tahun mendatang tidak lagi akan dipandang sebagai penghasil kayu saja, melainkan harus bisa menjadi nilai tambah dan menjadi sumber biofarmasi dunia.

Hal itu diutarakan oleh Prof.Dr.Emil Salim President advisory for environtment sekaligus mantan menteri Lingkungan Hidup RI dalam acara 20+ for Indonesia Forest dan perayaan 50 tahun WWF Indonesia yang diselenggarakan di pusat kebudayaan AS @America di Jakarta.

"Usaha GFTN WWF itu saja belum cukup, dan itu memang yang harus dilakukan pada timber industri seperti furniture, kertas, pulp, hutan itu lebih dari kayu dia sumber biofarmasi dan sumber nilai tambah jika dipadukan dengan biochemical," katanya.

Menurutnya kalau kita melihat peta dunia Indonesia merupakan satu- satunya archipelago state (negara kepulauan) didunia yang dilalui khatulistiwa, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati dan lautan, dua musim, sehingga kekayaan hayati Indonesia itu menjadi yang terkaya di dunia tetapi kita tidak menggunakan hutan kita secara maksimal.

Emil Salim mengemukakan,  perkembangan ilmu kini adalah bio mimikri (meniru) , jika Indonesia begitu kaya sumber daya alamnya maka itu adalah daya kompetitif kita yang paling kuat, China itu kaya tapi tidak memiliki hutan dan lautan tropis.Dan menjelang 2020 kita harus mampu dengan segala kekayaannya itu meningkatkan nilai tambah hutan yang bukan hanya kayu.

Ia mencontohkan pacet (lintah) yang menjadi obat penyakit vertigo dan serangan jantung bagi masyarakat suku Dayak di kalimantan, karena memiliki zat herodym yang mampu mencairkan darah yang kental, dimana lintah itu banyak hidup di hutan Indonesia dan nilainya akan lebih tinggi dari kayu dan kertas jika dijadikan biofarmasi.(yud)

Pewarta: Yudha Pratama Jaya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011