Jakarta (ANTARA) - Rata-rata permintaan tebusan para penjahat siber dalam serangan ransomware pada 2021 naik tajam hingga lebih dari 2,2 juta dolar AS atau sekira Rp31 miliar, sementara rata-rata transaksi naik 78 persen menjadi 541.010 dolar AS (Rp7,7 miliar).

Sektor industri yang paling terpengaruh oleh serangan ransomware itu antara lain jasa profesional dan hukum, konstruksi, grosir dan eceran, kesehatan, dan manufaktur, demikian menurut the 2022 Unit 42 Ransomware Threat Report dari Palo Alto Network, dikutip Rabu.

Jen Miller-Osborn, Deputy Director Unit 42 Threat Intelligence, mengatakan serangan ransomware pada 2021 telah mengganggu aktivitas sehari-hari yang dianggap biasa oleh orang-orang di seluruh dunia--mulai dari membeli bahan makanan, bahan bakar untuk kendaraan, bahkan saat menghubungi nomor darurat seperti 911.

Baca juga: Perusahaan perlu paham isu keamanan siber sebelum transformasi digital

Grup ransomware yang paling bertanggung jawab atas sebagian besar serangan tahun lalu adalah Conti. Terhitung lebih dari 1 dari 5 kasus yang dikerjakan para konsultan Unit 42 pada 2021 adalah berasal dari Conti.

REvil, yang juga dikenal sebagai Sodinokibi, berada di posisi kedua (7,1%), disusul oleh Hello Kitty dan Phobos (masing-masing 4,8%). Conti juga mengunggah nama 511 organisasi di situs kebocoran Dark Web-nya, terbanyak dari grup mana pun.

Sementara itu, Conti 2.0 adalah ancaman yang paling berpengaruh pada tahun 2021 di wilayah Asia Pasifik. Dalam perihal industri, organisasi yang paling banyak menjadi target serangan adalah bidang jasa profesional dan hukum serta industri manufaktur.

Laporan ini menjelaskan pesatnya perkembangan ekosistem pemerasan siber di 2021, dengan munculnya 35 grup ransomware baru. Laporan tersebut memaparkan bagaimana perusahaan kriminal menginvestasikan keuntungan tak terduga untuk menciptakan alat yang mudah digunakan dalam serangan yang memanfaatkan kerentanan zero-day.

Jumlah korban yang datanya muncul di situs-situs kebocoran data meningkat drastis (85%) pada 2021, menjadi 2.566 organisasi, berdasarkan analisa Unit 42. Sebanyak 60 persen dari korban kebocoran data berlokasi di Amerika, kemudian Eropa, Timur Tengah, dan Afrika 31 persen, dan juga 9 persen di wilayah Asia Pasifik.

"Ransomware menjadi penyebab utama keprihatinan keamanan sistem bagi organisasi di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bisnis-bisnis di berbagai sektor harus lebih berhati-hati lagi dalam menyikapi risiko dari pemerasan siber dan menilai kemampuan mereka dalam memerangi risiko ini," jelas Adi Rusli, Country Manager Indonesia, Palo Alto Networks.

Baca juga: Survei: Isu keamanan siber agenda utama organisasi di ASEAN

Baca juga: Internet Ukraina terganggu, operator terkena serangan siber

Baca juga: OJK: Sebanyak 21,8 persen serangan siber menyasar perbankan

Pewarta: Suryanto
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022