Jakarta (ANTARA News) - Dalam kenyataan sehari-hari para pelaku bisnis profesionalisme semakin memerlukan berkomunikasi verbal lebih dahulu. Berkomunikasi tatap muka, merundingkan pokok-pokok interaksi menjadi profesi yang memerlukan keuletan dan ketahanan mental sekaligus fisik, selain juga dana memadai.   

Mereka perlu menyadari bahwa setiap tahap rundingan tidak langsung matang hasilnya. Oleh karena itu, pelobi dan juru runding  bisnis atau bahkan nonbisnis layaknya organisasi sosial/politik harus berperilaku dengan kompetensi profesional.

Hal ini kian penting dalam dunia yang terus mengalami perubahan sebagai akibat kemajauan teknologi, apalagi temuan dalam teknologi informasi, sebut saja telepon seluler (ponsel), Internet, piranti tablet yang dipopulerkan iPad dan piranti keras untuk berbagai kepentingan kerja (gadget), sehingga manusia makin banyak mengalami dinamika tatanan kultural (cultural conditioning).  

Dengan makin terbukanya dunia, maka bagi mereka salah satu tuntutan profesionalnya adalah senantiasa siap berkomunikasi aktif dalam bahasa internasional, utamanya bahasa Inggris, dan akan lebih baik lagi bila berkemampuan multibahasa. Kalaupun dengan penerjemah, kefasihan berbahasa di masyarakat Asia makin perlu dilengkapi kemampuan berbahasa mandarin/China dan Jepang.  

Berbahasa termasuk satu langkah yang perlu dimaknai dalam berkomunikasi guna memahami budaya kelompok atau bangsa lain. Budaya sebagai suatu sistem berbagai simbol, antara lain kepercayaan, sikap, nilai, pengharapan dan norma berperilaku. Umumnya semua anggota masyarakat berbudaya memiliki asumsi yang senada (similar assumptions) mengenai pola berpikir, berperilaku, dan berkomunikasi. Mereka cenderung bertindak atas dasar sejumlah asumsi ini.  

Oleh karena itu, pelobi dan juru runding profesional harus setiap saat menggali kembali budaya lain, yang bukan instan sifatnya. Mereka secara berkesinambungan juga perlu berkelompok sambil belajar lebih komunikatif yang tidak cepat bosan.

Mereka juga patut menyadari bahwa mempelajari berbagai bahasa, latar belakang budaya dan sejarahnya, serta berbagai kebiasaan sosial akan membuka peluang yang lebih baik dalam berinteraksi. Sejumlah langkah dasarnya adalah sebagai berikut:
1. berilah toleransi terhadap adanya sikap mendua di pihak ketiga, atau pihak "lawan interaksi",  
2. berlatih mengendalikan diri sekaligus menekan ketidaksabaran,
3. jangan terpaku terhadap penampilan yang ada di permukaan (learn beyond the superficial), seperti cara berpakaian,
4. sadari dan kenalilah sikap menduanya kultural diri sendiri yang berbeda dengan budaya orang/pihak lain,
5. bersikaplah luwes/fleksibel dengan mengubah kebiasaan tidak lagi mencari pemecahan instan (instant solution),
6. jangan mudah membuat prasangka/stereotip dengan memberikan penilaian terhadap sesuatu secara berlebihan,
7. ketekunan dan kesabaran adalah suatu kebajikan dalam berinteraksi.

Kepekaan terhadap perbedaan etnik dan budaya adalah hal penting, bila pelobi dan juru runding profesional ingin menghindari salah pengertian dan mengusahakan ketulusan dalam bekerjasama. Interaksi merupakan proses penetapan hubungan timbal balik   karena berdasarkan proses mencari kesepakatan pikiran (meeting of minds).

Dalam bisnis domestik, maka pelobi dan juru runding profesional biasanya melakukan pembicaraan transaksional dengan sesama pebisnis dan atau dengan pelanggan, serta bahkan pihak pemerintah. Dengan pelaku bisnis luar negeri, mereka menjalani proses berbisnis dan interaksi internasional sehingga makin membutuhkan pemahaman sekaligus peningkatan mutu diri.

Jelas ada perbedaan sikap pandang pihak dari belahan dunia bagian Barat, terutama Amerika, yang langsung ingin bertindak dan mengambil keputusan serba cepat, cermat dan tidak mau bertele-tele. Sebaliknya, dalam tatap muka pertama, pelaku bisnis Asia kurang terbuka karena ingin menjajaki kesungguhan dan keseriusan lawan interaksi mereka. Lazimnya, mereka dalam pertemuan pertama lebih suka diperantarakan oleh orang yang ketiga yang sudah dikenal kedua belah pihak.

Pelobi dan juru runding profesional Asia lazimnya datang berkelompok terdiri dari tiga sampai lima orang. Rombongan tim ini untuk saling mencocokkan proses negosiasi saat ada waktu luang. Mempertukarkan kartu nama adalah kelaziman. Mereka dengan hormat memberikan kartu nama mereka dengan tulisan yang langsung bisa dibaca oleh penerimanya.

Berbisnis ala Asia, maka pelobi dan juru runding profesional jangan sampai tidak siap dengan kartu nama. Sebaiknya memberi catatan kecil menyangkut tanggal dan tempat terjadinya pertemuan pada kartu nama mereka, agar untuk perjumpaan kemudian dapat diingat.

Pebisnis Asia sangat senang kalau mendapat apresiasi menyangkut pertemuan pertama dengan menyebut sejumlah poin penting. Sekalipun ada kemajuan dalam temuan teknologi informasi yang membuka kemungkinan bernegosiasi verbal, para pelobi dan juru runding profesional juga tetap dituntut harus memelihara kesinambungan dalam berkomunikasi verbal.

Serangkaian proses tersebut merupakan bobot budaya (cultural loaded), baik dalam upaya mencapai kontrak jual beli barang atau jasa, bahkan mencapai titik temu adanya ketidaksepakatan.

Ketika mereka memerlukan keputusan dari atasan, maka akan melakukan pendekatan dengan fungsionaris yang memiliki wewenang memutuskan untuk disusul dengan urun-rembug formal, seperti memperoleh kredit bank, transportasi barang dan negosiasi melakukan investasi langsung (direct investment).

Setiap pelaku lobi, juru runding dengan didampingi penerjemah juga tetap memerlukan stamina fisik maupun keuletan mental Profesionalisme semacam ini tentunya sangat sulit bila masih mengandalkan pola indoktrinasi. (*)

*) Bob Widyahartono, MA (bobwidya@cbn.net.id), pengamat ekonomi/manajemen Asia Timur; dan Lektor Kepala Fakultas Ekonomi di Universitas Tarumanegara (FE UNTAR) di Jakarta.

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2011