Jakarta (ANTARA) - Juru Bicara Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Dedy Permadi mengatakan, studi "Digital Civility Index" oleh Microsoft pada tahun 2020 menunjukkan bahwa risiko pelecehan seksual secara daring di Indonesia tergolong tinggi 42 persen.

Hal ini membuktikan pentingnya ruang digital yang aman penting untuk mencegah kasus kekerasan berbasis gender secara daring atau online (KBGO).

"KBGO merupakan isu penting yang harus ditangani di Indonesia yang memiliki pengguna internet sebesar 204,7 juta orang. Kita harus menjaga ruang digital kita aman, sehat, dan produktif yang memerlukan kolaborasi lintas pihak," ujar Dedy, dikutip dari keterangan pers Plan Indonesia, Kamis.

Berdasarkan studi terbaru dari Plan International bertajuk "Future Online for Girls" pada tahun 2021, menunjukkan bahwa kekerasan dan pelecehan berbasis gender kian mengancam semenjak pandemi COVID-19 terjadi.

Menurut studi ini, KBGO masih sering terjadi karena empat faktor yaitu penggunaan internet dan media sosial semakin meningkat di masa pandemi COVID-19; kurangnya dukungan dari para idola kaum muda di media sosial; masih banyak platform media sosial yang belum terlalu efektif digunakan dalam menangani kasus KBGO dengan baik; dan penerapan nilai budaya yang salah.

Baca juga: Inggris sumbang Rp1,5 miliar kepada Indonesia untuk lawan "KBGO"

Berangkat dari berbagai permasalahan ini, banyak pihak menyuarakan berbagai rekomendasi serta praktik-praktik baik yang perlu dilakukan untuk menghapuskan KBGO.

Beberapa di antaranya mencakup pentingnya pemerintah dalam mendorong adanya pendidikan literasi dan keamanan digital; implementasi UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang serius; dan kerja sama dari perusahaan media sosial dengan berbagai pihak terutama kaum muda.

Subkoordinator Perencanaan dan Tata Kelola, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) RI Diah Wulandari mengatakan Kemendikbud telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan literasi digital.

Beberapa di antaranya dilaksanakan melalui kerja sama dengan berbagai instansi dan membuat kurikulum terkait literasi digital.

"Selain itu, kami juga meningkatkan security awareness, agar pelajar tidak menjadi korban KBGO. Beberapa usulan lainnya yang kami berikan adalah program EduSiber yang bertujuan untuk meningkatkan security awareness," kata Diah.

Diah menambahkan, pihaknya meyakini bahwa penguatan pemahaman penggunaan platform digital terutama media sosial juga perlu dilakukan melalui penguatan peran guru dalam mewujudkan profil pelajar Pancasila.

"Selain itu, dalam meningkatkan literasi digital dan cyber awareness, tentunya kaum muda perlu dilibatkan," imbuhnya.

Hal lain yang dapat mencegah KBGO terjadi adalah bystander atau saksi yang menyaksikan kekerasan tersebut berlangsung, dapat berperan efektif dalam memutus rantai kekerasan di ranah digital, menurut Direktur Eksekutif Plan Indonesia Dini Widiastuti.

Sependapat, penulis dan fasilitator gender Kalis Mardiasih mengatakan masalah lainnya terkait KBGO adalah ketika kita menjadi bystander aktif dan sedang memberikan dukungan, kita justru kerap menjadi korban KBGO berikutnya.

"Oleh karena itu, penting untuk memberikan edukasi juga bagi bystander aktif tentang hal ini. Sehingga, penting untuk memitigasi dan memastikan pengguna media sosial siap untuk menghadapi tantangan sebagai bystander aktif," katanya.

Kasubdiv Digital – At Risks SAFEnet Ellen Kusuma menambahkan tentang berbagai kiat yang dapat dilakukan baik bystander maupun korban dalam melaporkan KBGO.

Menurut dia, kapasitas untuk mitigasi KBGO menjadi hal yang penting. "Diperlukan wawasan yang baik untuk menangani KBGO. Dengan demikian, penting bagi kita untuk mendiseminasi tentang intervensi yang bisa dilakukan oleh bystander ketika melihat ada KBGO," ujarnya.

Baca juga: SAFEnet: Implementasi UU TPKS harus benar-benar berpihak pada korban

Baca juga: Menteri PPPA: Peningkatan penggunaan internet tambah risiko KBGO

Baca juga: Sidang terbuka jadi kendala terbesar penuntasan kasus KBGO

Pewarta: Arnidhya Nur Zhafira
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Copyright © ANTARA 2022