... setiap daerah punya karakteristik alam yang berbeda, jadi perlu kurikulum lingkungan yang berbeda...
Jakarta (ANTARA News) - Lingkungan sekolah dapat memberikan pengalaman hidup bermakna bagi siswanya, sebagai tempat dia belajar dengan cara yang paling menyenangkan.

Agar mampu menghasilkan siswa-siswi yang mampu bersaing dengan bangsa lain juga melestarikan kekayaan sumber daya alam, maka lingkungan sekolah itu harus kondusif dan didukung sistem pendidikan bermutu.

Satu hal penting dalam pendidikan adalah basis lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk Sekolah Berbudaya atau Berwawasan Lingkungan (SBL). Sekolah berbasis lingkungan ini memberi porsi kurikulum yang senantias mengaitkan atau melibatkan aspek lingkungan dalam proses belajar-mengajar.

Salah satu sekolah itu adalah SDN Percontohan Bendungan Hilir 12, Jakarta. Isu-isu lingkungan hidup diselipkan dalam beberapa mata pelajaran, di antaranta IPA.

Dalam pelajaran itu, siswa-siswi diminta mengumpulkan sisa-sisa air minum di lingkungan sekolah, mulai dari gelas sampai botol plastik minuman. Total air yang dikumpulkan mencapai tiga liter. Sejak saat itu, mereka lebih menyadari betapa penting air bersih sehingga mereka tidak membuang-buang air minum.

Lebih menukik lagi, mereka juga membentuk sejumlah kelompok kerja (pokja) dengan tugas masing-masing, yaitu Pokja Kompos yang bertugas mengumpulkan daun-daunan dan kemudian membuatnya menjadi kompos dan Pokja Kebersihan membersihkan sampah dan memisah-misah sampah.

Ada lagi Pokja Pertanian menanam padi di ember-ember, Pokja Energi mematikan lampu atau peralatan listrik yang tidak terpakai, dan Pokja Jumantik menjaga kebersihan kamar mandi supaya bebas dari jentik nyamuk. Sejak usia dini, murid-murid itu menjalankan konsep konservasi alam itu dengan sepenuh hati.

Dari sisi pemerintah, hal ini diwadahi melalui satu nota kesepahaman antara dua kementerian tentang pendidikan lingkungan hidup. Mereka adalah Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof Dr Muhammad Nuh, dan koleganya, Menteri Negara Lingkungan Hidup, Prof Dr Gusti Muhammad Hatta.

"Tujuan kesepakatan ini agar pendidikan lingkungan hidup dapat terintegrasi dalam kurikulum pendidikan nasional sehingga dapat mengubah perilaku ramah lingkungan. Kesepakatan ini dapat menjadi dasar pendidikan lingkungan di daerah," kata Gusti.

Di tempat lain, mantan Menteri Lingkungan Hidup, Emil Salim, memiliki pendapat berbeda lain tentang hal itu. "Karena setiap daerah punya karakteristik alam yang berbeda, jadi perlu kurikulum lingkungan yang berbeda," kata Emil yang juga ahli ekonomi itu.

Ia mencontohkan kondisi alam Maluku yang didominasi laut, sehingga perlu dirancang kurikulum berbasis lingkungan dengan spesifikasi kelautan, sehingga siswa mengenal arti penting laut bagi kehidupan.

Contoh lain, Jawa Barat dengan curah hujan yang tinggi dan alam yang hijau. Di kawasan seperti Jawa Barat ini tantangan penyusunan kurikulum berbasis lingkungannya berbeda lagi.

Masih terkait kurikulum lingkungan, Emil menambahkan jika dirancang sesuai dengan kondisi alam masing-masing daerah, maka siswa akan mampu menjaga, merawat sekaligus mengembangkan potensi yang ada di daerah tersebut. rany

Pewarta: Cornea Khairany
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2011