Jakarta (ANTARA News) - Vice Chairman International Chamber of Commerce (ICC) Sugihono Kadarisman mengatakan lemahnya masalah perlindungan Hak Kekayaan Intelektual (HAKI) salah satu penyebab menurunnya daya saing usaha di Indonesia.

"Tentu ini mengejutkan kita, dan salah satu penyebabnya adalah masalah perlindungan Hak Kekayaan Intelektual yang masih lemah," kata Sugihono, dalam acara seminar Peran HAKI untuk meningkatkan daya saing usaha Indonesia di Jakarta, Senin.

Berdasarkan hasil survei World Economic Forum (WEF), yang bertajuk The Global Competitiveness Report 2010-2012 menempatkan daya saing Indonesia pada peringkat 46 dari 142 negara, dari posisi sebelumnyayang menempati posisi 44.

Dia mengungkapkan bahwa kurangnya perlindungan hak cipta, mulai dari tingkat kebijakan berupa perumusan peraturan perundangan, sosialisasi, pelaksanaan, hingga penegakan hukum, tentunya akan menghambat kepastian berusaha serta daya inovasi dari para pelaku usaha di Indonesia.

Hal tersebut diamini oleh Sekjen Perhimpunan Masyarakat HAKI Henry Soelistyo Budi yang mengharapkan pemerintah harus lebih serius melakukan perlindungan atas Hak Kekayaan Intelektual untuk Meningkatkan Daya Saing Usaha Indonesia.

"Harapannya tentu agar pemerintah dapat memberikan informasi kepada stakeholders mengenai kebijakan perlindungan HAKI dan upaya-upaya yang dilakukan untuk meningkatkan daya saing usaha di Indonesia," kata Henry.

Sementara Direktur Eksekutif Kadin Rahardjo Jamtomo, menyatakan di era globalisasi yang diwarnai oleh semakin ketatnya persaingan dan meluasnya "interdependensi" antar Negara.

Rahardjo mengatakan bahwa tidak ada suatu negara-pun di dunia yang dapat terbebas dari permasalahan, kecuali berupaya menyiasati agar dapat menghindarkan kendala-kendala dan memanfaatkan peluang-peluang yang diciptakannya.

Dia juga mengungkapkan bahwa dari segi geo-politik, telah terjadi pergeseran-pergeseran dari negara-negara yang ikut menentukan kebijaksanaan dan peta politik dunia.

Demikian pula dari segi geo-ekonomi telah terjadi perubahan peta ekonomi dunia yang menuju kepada multiplorisasi, pergeseran grafitasi ekonomi dari Atlantik ke Asia Pasifik, terutama Asia Timur, dengan munculnya China dan India bersama Jepang dan Negara-negara Asia Tenggara.

Dalam situasi saat ini dimana ekonomi dunia tengah dilanda oleh situasi yang serba tidak menentu, karena dampak krisis hutang Eropa dan Amerika Serikat tampaknya sulit untuk dibatasi pengaruhnya.

Dia mengungkapkan bahwa berdasarkan factor-faktor penentu daya saing suatu Negara, maka peningkatan daya saing Negara itu biasanya berjalan bersamaan dengan peningkatan jenis ekonominya, dari "factor driven economies" ke "efficiency driven economies" dan selanjutnya ke "innovation driven economies".

Untuk meningkatkan daya saing perlu upaya kuat untuk meningkatkan produktivitas melalui inovasi pengetahuan dan teknologi dan menciptakan tata-kelola perusahaan yang baik, di antaranya dengan melalui penegakan hukum (law enforcement) yang efektif.

Dalam hubungan ini, pengembangan kerangka hukum dan institusi terkait dengan perlindungan HaKI memainkan peran penting untuk menuju ke innovation driven economies.

"Untuk itu diperlukan pembangunan SDM dan IPTEK yang memadai. Hanya dengan perlindungan HaKI yang baik, maka pengembangan SDM dan IPTEK serta inovasi nasional dapat terdorong. Dengan inovasi dapat dihasilkan pasar baru di dalam dan luar negeri, ditingkatkannya kualitas produk dan jasa yang dihasilkan, dan diperbaikinya daya saing produk dan jasa nasional." kata Rahardjo.

Peringkat Indonesia sebagai Negara pelanggar HaKI perlu diwaspadai bersama, karena hal tersebut dapat menciderai iklim bisnis di Indonesia, di samping juga membahayakan konsumen seperti yang terkait dengan produk-produk farmasi, makanan, otomotif, dan teknologi informasi.

Perlindungan HaKI belum banyak mendapatkan perhatian selama beberapa dekade sesudah Kemerdekaan Indonesia, namun setelah tahun 1990-an keadaan secara mendadak berubah. Pemerintah memperkenalkan copyright act pada ahun 1987, patent actpada tahun 1991, dan trademark act baru pada tahun 1993, di mana umumnya peraturan-peraturan tersebut merupakan amandemen dari peraturan-peraturan sebelumnya.

Di samping itu banyak dikeluarkan peraturan pemerintah, peraturan menteri dan peraturan administrative lainnya untuk mendukung pelaksanaan peraturan-peraturan di bidang HaKI yang baru.

Sebagai konsekuensi dari penandatanganan Persetujuan TRIPs, pemerintah Indonesia merombak kembali berbagai peraturan-peraturan di bidang HaKI seperti Bern Convention, WIPO Copyright Treaty, Patent Cooperation Treaty, Trademark Lawa Treaty, semua dilakukan pada tahun 1997 sesudah menandatangani Persetujuan TRIPs.

Di samping usaha-usaha keras pemerintah Indonesia di bidang HaKI di atas, pengamatan menunjukkan bahwa penegakkan hukum di bidang HaKI masih sulit dan perlindungan HaKI masih lemah.

Pembajakan tuisan dan kerja artistic dan pemalsuan merek dagang masih banyak, untuk memahami situasi dan memperhatikan berbagai faktor, yakni regim HaKI tidak berasal dari Indonesia karena itu perlu waktu untuk memahaminya.

Kedua, HaKI pada dasarnya bertentangan dengan Hukum Adat yang tidak mengenal pemilikan individual dalam pekerjaan dan inovasi intelektual.

Ketiga, kurangnya pemahaman tentang HaKI di antara aparat-aparat hukum di Indonesia dan keempat, HaKI sering kurang sejalan dengan tahap-tahap perkembangan ekonomi dan teknologi di Indonesia.

Untuk meningkatkan pemahaman tentang dan kesadaran mengenai HaKI dan penegakan hukum di bidang ini, di Indonesia diperlukan wkatu, karena menyangkut aspek budaya dan "mindset" (cara berpikir).

"Pelaksanaan dan penegakan hukum dalam regim HaKI secara nyata memerlukan dukungan dan upaya dari seluruh pihak dan komitmen kuat dari semua pemangku kepentingan seperti pemerintah, dunia usaha dan rakyat Indonesia pada umumnya," katanya.

Dalam prosesnya, lanjutnya, harus memperhatikan realitas budaya serta tahap-tahap perkembangan ekonomi dan teknologi yang terjadi di Indonesia. (ANT)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011