Jakarta (ANTARA) - Pengamat film sekaligus Wakil Ketua I Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) Hikmat Darmawan berpendapat kehadiran ruang aman bagi perempuan dan penciptaan pasar majemuk masih menjadi tantangan dalam ekosistem industri film Indonesia.

Terkait ruang aman, ia mengatakan asosiasi-asosiasi industri film di Indonesia memiliki peranan penting untuk menciptakan standar produksi dan standar kerja dalam kode etik yang melindungi pekerja film dari pelecehan dan kekerasan seksual.

Baca juga: Pandemi diharapkan jadi momentum perbaiki infrastruktur industri film

"Itu masalah serius untuk menciptakan ruang aman karena bagaimana perempuan bisa optimal berkarya kalau dia tidak merasa aman," ujar Hikmat saat dihubungi ANTARA pada Kamis.

Menurutnya, sebagian asosiasi memang sudah menerapkan kode etik dan memiliki komitmen untuk membangun ruang aman bagi perempuan, namun penegakan peraturan masih menjadi kendala.

Ia juga mengingatkan bahwa laki-laki pekerja film memiliki potensi menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual sehingga dibutuhkan pula dukungan dari pihak laki-laki. Hikmat juga mendorong agar laki-laki pekerja film lebih berkomitmen terhadap ruang aman tersebut.

"Beruntung sekarang sudah ada UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), itu bisa diadopsi lebih kuat lagi di dalam industri film. ... Tapi ini kan puluhan tahun, ya, menjadi ruang tidak aman bagi perempuan, jadi masih banyak pekerjaan rumahnya untuk mengimplementasikan TPKS itu ke dalam kehidupan profesional perfilman kita," kata Hikmat.

Terkait penciptaan pasar majemuk, ia berpendapat perlunya industri film untuk mendorong jalur distribusi film yang mengakomodasi keragaman pasar. Hal ini bertujuan agar suara alternatif, termasuk suara perempuan, memiliki posisi yang kuat ketika muncul di pasar perfilman.

"Keragaman itu kata kunci kemajuan sebuah industri film. Lihat Hollywood atau Eropa bagaimana. Keragaman itu sesuatu yang krusial bagi kemajuan industri film. Jika tidak, pasti ada titik jenuh pasar," ujarnya.

Hikmat menilai saat ini pasar perfilman Indonesia masih bersifat tunggal. Sebagai contoh, ruang putar bioskop masih berpusat pada wilayah Jabodetabek dan biasanya terletak di dalam mall.

Selain itu, meski kehadiran platform over the top (OTT) turut mendorong keragaman dalam jalur distribusi, Hikmat berpendapat bahwa layanan tersebut juga dapat berpotensi menghilangkan pasar majemuk apabila hanya mengedepankan film-film yang dianggap laris.

Menurut Hikmat, pasar majemuk bisa didorong dengan membuat perangkat peraturan atau infrastruktur yang menyediakan slot di bioskop untuk film-film yang lebih beragam. Penciptaan pasar majemuk, ujarnya, perlu didorong oleh semua pihak termasuk pemerintah, swasta, dan masyarakat.

"(Pasar majemuk) itu bisa dicapai lewat perjuangan untuk menciptakan kebijakan atau perangkat peraturan yang memungkinkan ada slot lebih banyak bagi film-film alternatif Indonesia," katanya.



Baca juga: Pengamat: Perempuan di dalam dan di balik film semakin beragam

Baca juga: "Tutuge", film horor yang angkat budaya Bali

Baca juga: Refleksi Hari Film Nasional dari para sineas

Pewarta: Rizka Khaerunnisa
Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022