Jakarta (ANTARA News) - Uluk-uluk perkutut manggung. Teka saka ngendi? teka saka tanah sabrang. Pakanmu apa? Pakanku madu tawon, manis madu tawon. Ora manis kaya putuku, Srintil.

(Suara burung perkutut berbunyi. Datangnya darimana? Dari tanah seberang. Makananmu apa? Makananku madu lebah, manis madu lebah. Tidak semanis seperti cucuku, Srintil.)

Mantra yang diteriakkan oleh seluruh warga Dukuh Paruk dengan irama nada yang diulang-ulang sambil berjalan mengarak seorang gadis ranum menuju ke balai desa. Dengan dandanan bak pengantin Jawa, gadis itu tidak berhenti melempar senyum genitnya.

Lirikan matanya menggoda setiap lelaki Dukuh Paruk untuk menari bersamanya. Gadis itu adalah penari ronggeng baru di Dukuh Paruk. Gadis itu adalah Srintil.

Menjadi penari ronggeng adalah impian Srintil sejak masih kecil, terutama sejak Srintil kecil melentikkan jemari mungilnya dan menggoyangkan pinggulnya hanya dengan iringan bunyi gamelan yang keluar dari mulut sahabatnya, Rasus. Tanpa disadarinya, ternyata jiwa ronggeng sudah ada dalam darah Srintil.

Srintil kecil ingin menari ronggeng dengan diiringi suara gamelan yang sesungguhnya, bukan bunyi gamelan tiruan seperti yang dilakukan Rasus.

Srintil ingin didandani seperti pengantin. Srintil ingin dipanggil Jeng Nganten seperti orang-orang memanggil Yu Surti, penari ronggeng kebanggaan Dukuh Paruk.

Hingga satu petaka menimpa dukuh tersebut, banyak warga Dukuh Paruk mati akibat keracunan tempe bongkrek buatan ayah Srintil, Santayib. Salah satu diantaranya adalah Yu Surti, sang ronggeng. Sejak saat itu, Dukuh Paruk tidak lagi memiliki penari ronggeng.

Selama dua belas tahun sejak kematian Yu Surti, Srintil masih menyimpan impiannya menjadi penari ronggeng dan berharap dapat menjadi penerus Yu Surti.

Namun, kepercayaan warga Dukuh Paruk mempersulit impian Srintil itu. Warga memiliki kepercayaan yang kuat bahwa seorang penari ronggeng sejati bukanlah hasil dari pengajaran, melainkan wangsit yang berasal dari Ki Secamenggala.

Ki Secamenggala adalah nenek moyang warga DUkuh Paruk yang dipercayai memegang kendali atas dukuh tersebut. Makamnya menjadi kiblat kehidupan kebatinan warga Dukuh Paruk, termasuk Srintil.

Srintil mencurahkan isi hatinya kepada Rasus, sahabatnya, termasuk cita-cita menjadi penari ronggeng. Rasus sebenarnya khawatir jika Srintil menjadi ronggeng. Rasus pun menyadari bahwa dengan kekhawatirannya terhadap Srintil tandanya dia mencintai Srintil.

Namun Rasus ingin membuat Srintil bahagia. Dia teringat akan sebuah keris pusaka milik Yu Surti yang terjatuh saat dibopong warga karena keracunan tempe bongkrek. Rasus memberikan keris pusaka itu kepada Srintil hingga warga percaya bahwa Srintil adalah titisan Ki Secamenggala untuk menjadi ronggeng.

Rasus, yang semakin tidak suka melihat Srintil menari ronggeng, akhirnya memutuskan untuk keluar dari Dukuh Paruk dan menjadi tentara. Tentara yang melawan kelompok politik sayap kiri pada jaman itu, yang memanfaatkan kesenian ronggeng sebagai alat kampanye.

Kehidupan Rasus berubah seratus delapan puluh derajat dengan menjadi tentara. Rasus yang pemalu berubah menjadi gagah pemberani. Rasus yang bodoh berubah menjadi pandai membaca dan bisa menyetir mobil.

Namun tidak demikian dengan Srintil. Setelah menjadi ronggeng yang sangat dipuja warga, Srintil menyadari bahwa dia tidak menemukan kebahagiaan yang dia harapkan. Srintil mulai lelah menari, lebih tepatnya lelah melayani pria yang menyawernya paling mahal seusai menari.

Srintil baru menyadari bahwa kehidupan seorang penari ronggeng tidak sepenuhnya sempurna dengan kecantikan dan puji puja semua orang. Namun, Srintil ingin membalas kebaikan Ki Secamenggala yang diyakini sebagai Tuhan warga Dukuh Paruk. Srintil ingin menebus kesalahan orang tuanya yang meracuni warga dengan tempe bongkrek.

Film Sang Penari
Sang Penari merupakan sebuah film yang diadaptasi dari novel karya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk.

Film nasional garapan sutradara muda Ifa Isfansyah tersebut mengangkat kisah kehidupan seorang penari ronggeng di Dukuh Paruk, daerah Banyumas, Jawa Tengah, dengan segala dinamikanya.

Sutradara kelahiran Jogjakarta tersebut cukup berani menggabungkan unsur seni budaya dan politik dalam filmya. Dia memasukkan latar belakang pemberontakan revolusi partai komunis sebagai unsur historik.

Alur cerita film itu merupakan flashback dari adegan pencarian tentara Rasus (Oka Antara) terhadap pujaan hatinya, Srintil (Pia Nasution).

Film berdurasi kurang lebih 90 menit itu penuh dengan adegan yang mendeskripsikan secara lengkap tentang kehidupan penari ronggeng. Namun, ada beberapa kelemahan yang terdapat dalam film tersebut.

Sebagai film layar lebar pertama yang dibintangi Pia Nasution, artis yang sering membintangi film televisi itu tampak kurang alami dalam memerankan tokoh seorang penari ronggeng. Namun, kekurangan itu tertutupi dengan adanya seniman peran berbakat lainnya, seperti lain Tio Pakusadewo, Slamet Rahardjo, Happy Salma dan Lukman Sardi.

Selain itu, penata Kamera Yadi Sugandi juga kurang memperhatikan ketidakstabilan kameraman saat mengambil gambar "close up" pada beberapa adegan.

Detil adegan dalam film tersebut juga diperhatikan oleh sang sutradara, seperti tertangkapnya tato di tangan kiri Tio Pakusadewo pada kamera, saat adegan Sersan Binsar menjawab telepon. Bukankah seharusnya seorang tentara tidak boleh memiliki tato di bagian tubuhnya?

Namun demikian, terlepas dari kekurangan yang tidak begitu signifikan itu, Sang Penari dikemas secara keseluruhan dengan apik oleh sang sutradara.

Sang Penari akan ditayangkan perdana pada Kamis (10/11) secara serentak di seluruh bioskop di tanah air. Film tersebut merupakan salah satu bentuk pelestarian budaya bangsa. Kebudayaan Banyumas yang mulai dilupakan, seperti tari ronggeng dan batik Banyumas, ditampilkan secara masif dalam film Sang Penari, sehingga dapat membangkitkan kecintaan terhadap budaya daerah.
(SDP-05)


Pewarta: Fransiska Ninditya
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2011