Jakarta (ANTARA) - Gender dalam dunia profesi dokter gigi bukan suatu masalah, begitulah pendapat drg. Shaliha Hasim sejak menyelesaikan pendidikannya di Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran beberapa tahun silam.

Shaliha yang kini tergabung dalam Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDGI) Kota Bogor itu mengungkapkan, mayoritas dokter gigi tak lain kaum hawa seperti dirinya dan umumnya pasien tidak mempermasalahkan kondisi ini.

Baca juga: Kartini versi Arawinda hingga syarat penerima vaksin HPV

Namun, bukan berarti dokter gigi perempuan nihil pengalaman tak mengenakkan selama memberikan pelayanan kesehatan pada pasien dari gender berbeda.

Pasien lelaki yang enggan ditangani dokter perempuan salah satu contohnya. Tetapi Shaliha maklum, mengingat pasien sebenarnya memiliki hak untuk memilih dokter yang akan menanganinya.

Pengalaman lainnya bahkan termasuk pelecehan seksual ringan. Tetapi, sejauh ini dia dapat menindaklanjutinya secara profesional. Perawat gigi yang menemani dokter dalam ruangan terutama jika pasien dari gender berbeda bisa menjadi solusi.

Berbicara tantangan selama menjalani profesinya, Shaliha tak menampik pandemi COVID-19 selama dua tahun terakhir termasuk di dalamnya. Pada awal masa pandemi, tindakan pada gigi bukan termasuk prioritas dalam penanganan kesehatan kecuali untuk kasus-kasus kegawatdaruratan.

Klinik-klinik atau fasilitas pelayanan gigi pun ditutup sementara waktu. Kondisi ini menyebabkan banyak pasien dengan masalah gigi harus menunda perawatan. Hasilnya, masalah gigi mereka bertambah parah, apalagi tak semua pasien memahami cara menjaga kesehatan gigi dan mulut secara tepat di rumah.

Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 menyebutkan, proporsi terbesar masalah gigi di Indonesia yakni gigi rusak, berlubang atau sakit sebanyak 45,3 persen. Sedangkan masalah kesehatan mulut yang mayoritas dialami penduduk Indonesia adalah gusi bengkak dan atau keluar bisul (abses) sebesar 14 persen.

Baca juga: Peran wanita di industri digital bantu pengarusutamaan gender

Tetapi, menurut Kementerian Kesehatan, dari sekitar 57,6 persen penduduk yang bermasalah dengan kesehatan gigi dan mulut, hanya sebanyak 10,2 persen mengakses pelayanan kesehatan gigi.

Ini karena situasi pandemi COVID-19 yang berdampak pada terganggunya akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan. Di lain sisi, pasien takut tertular COVID-19, mengingat tindakan kedokteran gigi turut menggunakan aerosol yang sangat terkait dengan penularan COVID-19.

Sebagai dokter, Shaliha mengaku jadi serba salah. Dia tak bisa begitu saja mengabaikan keluhan pasiennya, tetapi dia harus berhadapan dengan risiko terinfeksi virus corona akibat penanganan gigi yang dilakukannya. Selama penanganan gigi, pasien pasti membuka masker dan mulutnya.

Tenaga medis termasuk kelompok yang rentan terkena COVID-19 di klinik dan rumah sakit, sehingga mereka perlu menjaga stamina tubuh agar bisa saling back-up.

Merujuk data PDGI, pada Maret 2021 tercatat sebanyak 396 dokter gigi yang terpapar COVID-19 yang tersebar di puskesmas sebanyak 199 orang, di rumah sakit 92 orang, di klinik 36 orang dan praktik mandiri 35 orang.

"Jadi serba salah ya, apalagi pas kasus COVID-19 lagi tinggi-tingginya kemarin. Kami sebagai dokter gigi punya risiko tinggi tertular karena pasien pasti membuka masker dan mulut. Tetapi juga kalau tidak ditangani masalah gigi pasien semakin banyak dan parah," kata dia kepada ANTARA.

Memberikan konsultasi daring pun akhirnya dipilih Shaliha, kendati cara ini tak banyak membantu karena kebanyakan kasus gigi membutuhkan tindakan langsung.

Tetapi, setidaknya, dokter bisa memberikan resep dan perawatan sementara di rumah hingga pasien memungkinkan datang ke dokter gigi.

Seiring waktu, dokter gigi kembali diizinkan membuka praktik namun dengan menerapkan protokol kesehatan ketat sebagai langkah pencegahan penularan COVID-19 pada pelayanan kesehatan gigi dan mulut.

Dalam petunjuk teknis (Juknis) baru pelayanan kesehatan gigi dan mulut di fasilitas kesehatan tingkat pertama yang diterbitkan Kementerian Kesehatan disebutkan, ada sejumlah tahapan skema pelayanan kesehatan gigi dan mulut selama masa pandemi COVID-19, mencakup tahap penerimaan pasien, sebelum kunjungan, saat kunjungan dan setelah selesai kunjungan di fasilitas pelayanan kesehatan.

Saat ini, praktik dokter gigi sudah buka seperti biasanya. Tetapi, sebagian dokter mungkin masih mengenakan APD atau menyasaratkan pasien melakukan tes swab untuk beberapa tindakan khusus.

Shaliha menyarankan agar masyarakat segera memeriksakan kondisi gigi mulutnya. Bila nantinya ditemukan masalah, maka bisa mulai ditangani sedikit demi sedikit.

"Sejatinya kita tidak bisa lari dari masalah gigi. Kalau tidak sekarang diobati, akan sakit di kemudian hari dengan sakit yang lebih luar biasa dan biaya yang juga lebih besar," tutur dia.

"Jika takut ke dokter gigi, ingatlah dokter hanya ingin membantu agar kualitas hidup kita menjadi lebih baik. Bisa mengunyah makanan dengan nikmat, dan senyum lebar dengan perasaan nyaman," sambung Shaliha.


Baca juga: Catatan pinggir Kartini pejuang devisa di Bone

Baca juga: Jumiatun jadi kartini di tengah keterpurukan nasib buruh migran

Baca juga: Perempuan dominasi pelatihan wirausaha digital Kominfo

Editor: Ida Nurcahyani
Copyright © ANTARA 2022