tugas perempuan juga untuk mengawal itu
Jakarta (ANTARA) - Ketika DPR menyetujui mengesahkan Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) menjadi undang-undang, euforia pun membanjiri berbagai media sosial. Hal ini memang perlu dirayakan, namun yang terpenting adalah tindakan lanjutannya.

Aktris Putri Ayudya mengatakan merayakan pengesahan RUU TPKS adalah hal yang wajar, mengingat rancangan ini telah diperjuangkan selama 10 tahun. Perasaan suka cita atas disahkannya rancangan undang-undang tersebut juga merupakan sebuah kepedulian terhadap korban dan bukan sebuah glorifikasi.

"Promosi dan publikasi UU TPKS ini sesungguhnya perlu dilakukan. Hampir saja bisa jadi glorifikasi bila hanya sorak-sorai saja. Namun kenyataannya awareness terhadap pelaku dan korban, memang menuntut 'perayaan' ini," ujar Putri kepada ANTARA dikutip pada Jumat.

"Ini adalah sebuah sikap hukum yang sudah kita perjuangkan sejak 10 tahun terakhir dan bukan isu prematur, bahkan bertambah urgensinya. Saya merasa saat ini adalah pengukuhan momentum, bukan glorifikasi," lanjutnya.

Pemain film "Yowis Ben” ini, mengungkapkan bahwa disahkannya RUU TPKS merupakan sebuah bukti bahwa negara peduli pada masalah kekerasan seksual dan berani mengambil sikap. Akan tetapi, yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana mengimplementasikan agar sesuai dengan peraturan yang dibuat.

UU TPKS terdiri dari 8 BAB dan 93 pasal. Dalam proses penyusunannya, DPR dan pemerintah melibatkan 120 kelompok masyarakat sipil.

Undang-undang ini memasukkan sembilan bentuk tindak pidana kekerasan seksual yaitu pelecehan seksual non-fisik, pelecehan seksual fisik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, pemaksaan perkawinan, kekerasan seksual berbasis elektronik, penyiksaan seksual, eksploitasi seksual dan perbudakan seksual.

Jika dibandingkan dengan usulan awal, terdapat dua poin yang dihapus yaitu pemerkosaan dan aborsi.

Pelecehan seksual fisik dan non-fisik bisa terjadi di mana dan kapan saja, bahkan di lingkungan keluarga, institusi pendidikan hingga tempat kerja.

Sebelum adanya UU TPKS, masalah pelecehan seksual ini kerap diabaikan jika terdapat pengaduan. Bahkan pada ranah tertentu seperti industri hiburan, pelecehan dianggap sebagai hal yang normal.

"Bagi kami para aktor yang dituntut untuk berani terbuka dan menjadi rapuh (being vulnerable) selama shooting kami harus pandai-pandai menjaga batasan. Kita semua juga bekerja bersama dalam waktu yang lama. Bisa jadi kita luput untuk menjaga emosi dan sikap," jelas Putri.

Dengan adanya UU TPKS, ekosistem dunia hiburan mulai melakukan pembenahan dan membuat batasan-batasan agar seluruh pekerja yang terlibat merasa aman dan nyaman.

"Saat ini peraturan-peraturan yang sudah mulai dipasang tentang kekerasan seksual dan respect conduct di lokasi shooting tidak sekedar mengingatkan atau peraturan lokal dari PH tapi mempunyai konsekuensi nyata secara hukum," kata perempuan kelahiran 20 Oktober 1976 itu.

Sementara itu, musisi dan aktivis Melanie Subono mengatakan sangat mengapresiasi usaha pemerintah dalam memberikan payung hukum kepada korban pelecehan seksual. Akan tetapi, pengesahan ini hanyalah langkah awal dari perjuangan perempuan yang telah berjalan selama satu dekade terakhir.

Para perempuan harus bersama-sama untuk saling menjaga dan mengingatkan untuk terus mengawal agar undang-undang tersebut dapat diterapkan sesuai dengan aturan.

"Jadi tugas perempuan juga untuk mengawal itu, perempuan sendiri harus sadar pada haknya karena ada beberapa hal yang enggak boleh tapi tetap dilakukan juga oleh perempuan itu sendiri," kata pelantun "Bebas Merdeka" itu kepada ANTARA.

Bagi Melanie, pekerjaan rumah terbesar saat ini terhadap UU TPKS tidak hanya dibebankan pada pemerintah, tapi juga kepada diri para perempuan untuk mau melakukan penolakan atau perlawanan jika terjadi pelecehan.

Pada kenyataan, pengesahan UU TPKS tidak 100 persen mendapat dukungan dari seluruh masyarakat Indonesia bahkan dari partai politik. Tak hanya itu, sebagian orang merasa bahwa undang-undang tentang pelecehan seksual terlalu berlebihan apalagi jika hal tersebut terjadi di institusi rumah tangga.

Partai Keadilan Sejahtera (PKS) menolak RUU PKS - sebelum berganti nama jadi RUU TPKS - bahkan ini terjadi hingga detik-detik RUU TPKS disahkan menjadi undang-undang.

Merujuk pada draf tahun 2016, fraksi PKS mempermasalahkan frasa “persetujuan untuk melakukan hubungan seksual”. Menurut PKS, seharusnya tetap dilarang untuk mereka yang belum resmi menikah.

Sebagai contoh, saat seorang suami secara paksa meminta istri melakukan hubungan seksual padahal sudah mendapat penolakan sebelumnya, maka bisa dikategorikan sebagai pelecehan seksual. Akan tetapi, hal tersebut kerap dianggap sebagai hal yang normal dengan dalih itu merupakan kewajiban yang harus dipenuhi istri.

Tak hanya itu, PKS juga keberatan dengan pasal mengenai pemaksaan aborsi dan pemaksaan perkawinan. Naskah akademik RUU yang menjelaskan mengenai kekerasan seksual atas dasar pilihan orientasi seksual berbeda juga dipermasalahkan.

"Dalam hal-hal begitu yang mentoknya dengan kata-kata budaya atau agama, orang-orang itu akan bilang bahwa ini berlebihan. Tapi kami sudah lihat sendiri kasus-kasus seksual itu kan sudah di mana-mana," ujar Melanie.

Dia melanjutkan, "Kalau udah ada di sisi korban atau orang yang mengalami itu, atau pernah mengalami itu pasti akan bilang ini (UU TPKS) berlebihan sih."

Baca juga: UU TPKS wujud perjuangan Kartini masa kini

Baca juga: Sosiolog: UU TPKS perlu sosialisasi secara masif

Baca juga: Sambut UU TPKS, Erick terbitkan surat edaran cegah pelecehan di BUMN


 

Pewarta: Maria Cicilia
Editor: Alviansyah Pasaribu
Copyright © ANTARA 2022