Jakarta (ANTARA News) - Kekecewaan masyarakat terhadap kinerja pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, (SBY-Boediono), menurut beberapa survei, kini meningkat. Meluasnya kemiskinan, daya tahan hidup melemah, pengangguran yang tinggi, dan mengguritanya korupsi merupakan akarnya.

Kondisi itu mereproduksi aneka kegelisahan dan ketegangan dalam masyarakat yang berujung pada kekerasan akut yang semakin sulit diantisipasi.

Drama tata ulang kabinet yang semula diharapkan bisa menjadi momentum bangkitnya optimisme publik gagal dimanfaatkan pemerintahan saat ini.

Sifat Presiden SBY yang dinilai banyak orang peragu, membuat dirinya tetap berada dalam sandera partai politik yang tidak sudi kadernya dilucuti dari kabinet. Wajah-wajah anggota kabinet yang semestinya digusur karena diduga kuat terlibat tindak pidana korupsi masih saja dipertahankan. SBY juga menambahkan sejumlah wakil menteri yang membuat kabinet semakin gemuk, lamban bergerak namun boros.

Langkah politik tersebut memperlihatkan secara jelas, Presiden lebih peduli pada keselamatan dan kelanggengan pemerintahannya ketimbang mendengar aspirasi masyarakat yang mendambakan perbaikan substansial dalam berbagai bidang kehidupan, terutama di sektor ekonomi, melalui pembukaan lapangan pekerjaan demi menekan laju pengangguran. Kemajuan dan kesejahteraan masyarakat seakan menjadi nilai sekunder dalam visi pemerintahan SBY-Boediono.


Tekanan Politik

Besarnya dukungan terhadap Presiden SBY pada pemilu presiden 2004 didongkrak oleh janji pemberantasan korupsi. Tidak main-main dia mendeklarasikan Partai Demokrat sebagai lokomotif pemerintahan bersih dan adil dengan memerangi korupsi. SBY berjanji untuk berada di barisan terdepan dalam memberantas korupsi sehingga dambaan masyarakat akan kekuasasan yang peduli dan berkinerja baik semakin realistis diharapkan.

Sayangnya, harapan itu tak berumur panjang. Parade korupsi yang melibatkan partai politik terus terjadi. Kasus Nazarudin (baca Muhammad Nazarudin) menguak kebobrokan partai yang dulunya berjanji akan berdiri didepan untuk memberantas korupsi. Kader Partai Demokrat bukan saja gagal mempelopori pemberantasan korupsi, tetapi sebagian kader justru ikut membantu menyuburkannya. Politisi muda yang dulu banyak digadang orang, seperti Anas Urbaningrum, Angelina Sondak dan Andi Mallarangeng justru menjadi masalah di dalam Partai berwarna biru itu.

Persoalan serius yang menghadang agenda pemberantasan korupsi adalah lemahnya dukungan politik. Kehadiran KPK yang diharapkan mengakselerasi pemberantasan korupsi kurang mendapat apresiasi dari kekuatan politik. Fahkri Hamzah menyerukan agar KPK dibubarkan. Beny K Harman, Ketua Komisi III DPR memandang sinis KPK sebagai teroris gaya baru. Gerakan untuk membonsai KPK juga terus membahana dan semua itu memberikan gambaran bahwa agenda pemberantasan korupsi belum menjadi perhatian serius berbagai kekuatan politik.

Lemahnya dukungan politik bagi pemberantasan korupsi semakin nyata dengan kasus bebasnya koruptor di berbagai pengadilan Tipikor di di daerah. Pengadilan Tipikor Bandung, Jawa Barat membebaskan tiga orang koruptor dengan alasan lemahnya dakwaan dan bukti. Selama 2011, Pengadilan Tipikor Surabaya, Jawa Timur, membebaskan 22 orang pelaku korupsi dan Pengadilan Tipikor Samarinda, Kalimantan Timur, membebaskan 14 orang koruptor dengan alasan serupa. Itu berarti, keberadaan Pengadilan Tipikor di daerah menjadi kontrakproduktif dengan agenda besar pemberantasan korupsi.

Kenyataan ini memberi pesan penting, kampanye anti-korupsi akan berjalan di tempat jika kekuatan politik belum memperlihatkan dukungan konkret. Keadaan bertambah buram jika kepemimpinan SBY belum mampu membekali diri dengan keberanian, ketegasan dan kesungguhan memberantas korupsi tanpa pilih kasih.

Sebagaimana terjadi di Negara-negara lainnya, korupsi akan tumbuh subur jika kekuasaan masih dimonopoli oleh segelintir orang yang cenderung menganggap kemewahan dan kekuasaan kelompok lebih mendapat prioritas. Andaikata kondisi tersebut dibiarkan, maka pemberantasan korupsi memasuki jalan terjal yang bisa saja menggelincirkan bangsa ini ke dalam kondisi yang semakin mengkhawatirkan.


Bungker Koruptor

Dampak korupsi telah memicu kekecewaan dan kemarahan luas masyarakat dari berbagai golongan. Banyak rezim di Amerika Selatan dan Timur Tengah yang terpaksa meletakkan jabatan karena gelombang protes masyarakat yang muak dengan korupsi yang kian mematikan.

Kejatuhan Soeharto di tahun 1998 juga tidak terlepas dari gelombang protes masyarakat yang dimotori mahasiswa atas buruknya kinerja kekuasaan dan meluasnya kemiskinan karena mewabahnya korupsi dan menjerumuskan bangsa ini dalam tumpukan utang luar negeri. Inilah dasar mengapa reformasi menempatkan pemberantasan korupsi sebagai agenda sentral untuk menata wajah Indonesia yang lebih baik dan adil.

Jauh dari mengambil hikmah sejarah dan menyusun strategi yang jelas untuk memberantas korupsi, rezim politik di negeri ini terkesan gagal atau setengah hati dalam menuntaskan agenda reformasi. Janji-janji pemberantasan korupsi begitu menguap, tanpa meninggalkan jejak yang menggembirakan. Akibatnya, berbagai program pemerintah yang terkait soal ini ditanggapi dingin dan skeptik oleh masyarakat. Sulit dihindari, agenda pemberantasan korupsi tidak lebih dari kosmetik untuk menutupi wajah yang ragu dan lemah sehingga tidak berdaya berhadapan dengan gerombolan koruptor yang mudah membeli birokrasi dan penegak hukum.

Justifikasi terhadap kenyataan tadi bisa terbaca dari buruknya reformasi birokrasi peradilan di negeri ini. Wajah peradilan masih berselimutkan misteri karena keterbukaan masih menjadi barang mewah. Atas nama kerahasiaan berbagai informasi yang berkaitan penegakan hukum di negeri ini semakin sulit diakses oleh masyarakat. Fenomena ini membuat citra penegakan hukum memburuk di mata masyarakat dan di saat yang sama memupuk berkembangnya praktek anti-demokrasi dan anti- keadilan. Singkat cerita, birokrasi yang buruk menjadi bunker bagi koruptor sekaligus mereproduksi bentuk-bentuk korupsi baru yang lebih sistematis, brutal dan massif.

Berperannya birokrasi sebagai bunker koruptor bukan fenomena baru melainkan sudah berakar panjang. Bulan Oktoberr 1956, Menteri Luar Negeri Roeslan Abdulgani dituduh melakukan tindak pidana korupsi. Untuk mengusut kasus tersebut, Perdana Menteri Mohammad Roem membentuk Komite Pemeriksa. Jauh dari mengusut tuntas kasus tersebut, Komite itu justru mengumumkan temuannya bahwa tidak ditemukan unsur korupsi dalam kasus Roeslan Abdulgani sehingga tidak layak di bawah ke pengadilan. Birokrasi dalam hal hadir sebagai wahana katarsis bagi rezim yang korup.

Kasus serupa terus berulang hingga ke jaman reformasi. Persidangan penggelapan dana tujuh yayasan oleh Soeharto tidak bisa dilanjutkan karena penguasa Orde Baru itu tidak bisa hadir di pengadilan dengan alasan mengalami gangguan otak permanen. Alasan tersebut tentu mengada-ada sekaligus menyingkap lemahnya independensi dan kesungguhan lembaga-lembaga penegak hukum dalam menuntaskan kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat politik.

Rasanya mustahil memajukan bangsa ini tanpa terlebih dahulu membersihkan birokrasi dan lembaga-lembaga penegak hukum dari praktek-praktek yang melawan keadilan dan kejujuran. Itu berarti, membebaskan birokrasi dari tekanan politik partai merupakan prasyarat dasar untuk mewujudkan agenda anti-korupsi di negeri ini.
(Y005)

*Penulis adalah Dekan Fakultas Hukum Universitas Sahid Jakarta

Oleh Dr. Laksanto Setya Utomo *
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011