Jakarta (ANTARA) - Warga di tujuh desa Kecamatan Kuta Selatan mengusulkan untuk mendapatkan pengakuan sebagai komunitas siaga tsunami di Kelurahan Tanjung Benoa dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organisation (UNESCO).

Dalam keterangan tertulis diterima di Jakarta, Minggu, disebutkan upaya komunitas tersebut akan dibagikan pada salah satu sesi dalam Global Platform for Disaster Risk Reducation (GPDRR) ke-7 pada 23 – 28 Mei 2022.

Salah satu wilayah yang mengusulkan pengakuan tersebut yaitu Kelurahan Tanjung Benoa yang berada di Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, Provinsi Bali, sebab wilayah tersebut telah melalui beberapa tahap administrasi.

Baca juga: Kampung siaga bencana dikembangkan di Pandeglang-Banten

Langkah selanjutnya sebelum pengakuan dari UNESCO, pada April 2022 ini UNESCO akan melakukan verifikasi lapangan dan pada bulan berikutnya, pengakuan sebagai komunitas siaga tsunami atau tsunami ready community akan diberikan kepada kelurahan ini.

“Yang mengusulkan harus masyarakat sendiri, tidak boleh dari BNPB atau BMKG, tapi kemandirian. Kami hanya membimbing dan mendampingi,” ujar Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Dwikorita Karnawati saat berada di SMP Negeri 3 Kuta Selatan, pada Jumat (22/4).

Tujuh komunitas di tingkat desa yang mengusulkan pengakuan sebagai komunitas siaga tsunami yaitu Desa Panggarangan, Desa Pangandaran, Desa Kemadang, Desa Gelagah, Desa Tambakrejo, Kelurahan Tanjung Benoa dan Desa Kuta Mandalika.

Kelurahan Tanjung Benoa merupakan salah satu kelurahan di Kabupaten Badung yang berada di wilayah bahaya tsunami tinggi. Karakter wilayah yang datar dan jauh dari area aman tidak memungkinkan untuk menuju daerah yang lebih tinggi tepat waktu.

Pilihan terbaik untuk evakuasi adalah evakuasi secara vertikal menuju bangunan tinggi dan minimal berlantai 3 yang masih berdiri pascagempa.

Kelurahan Tanjung Benoa bersama tujuh hotel berlantai tiga atau lebih telah menandatangani perjanjian kerja sama, untuk berkomitmen menjadikan hotel sebagai tempat evakuasi sementara kepada masyarakat Tanjung Benoa selama tsunami masih berlangsung.

Sementara itu, UNESCO menetapkan 12 indikator sebagai penilaian terhadap komunitas siaga bencana. Keduabelas indikator tersebut terbagi ke dalam tiga kategori, yaitu penilaian atau identifikasi, kesiapsiagaan dan respons. Usulan terhadap pengakuan tersebut harus dilakukan oleh komunitas.

Kesiapsiagaan tsunami ini merupakan salah satu program berbasis pada kinerja masyarakat dalam membangun kesiapsiagaan tsunami dengan kolaborasi aktif dari masyarakat, tokoh masyarakat, pusat peringatan dini tsunami dan badan penanggulangan bencana lokal dan nasional.

Melalui upaya untuk mendapatkan pengakuan, komunitas di tingkat desa diharapkan dapat membangun jejaring antar desa atau pun pihak lain, seperti perguruan tinggi atau dunia usaha. Di samping itu, komunitas berusaha untuk memenuhi standar kesiapsiagaan yang tinggi dengan terstruktur, sistematis dan berbasis pada ilmu pengetahuan.

Di samping itu, pengakuan ini akan menempatkan masyarakat sebagai subyek kesiapsiagaan dan memperkuat kesiapsiagaan tsunami di wilayah pesisir. Kesiapsiagaan ini mencakup tindakan untuk meningkatkan kajian bahaya, risiko, inundasi dan evakuasi, kapasitas peringatan dini tsunami, rencana tanggap darurat dan tanggap darurat kebencanaan serta materi pendidikan, pengertian atas ancaman tsunami dan memastikan adanya latihan.

Pada Jumat lalu (22/4), Kepala BNPB Letnan Jenderal Suharyanto bersama Utusan Khusus PBB untuk Pengurangan Risiko Bencana Mami Mizutori dan Kepala BMKG melihat bentuk kesiapsiagaan melalui komunitas SMP Negeri 3 Kuta Selatan dalam simulasi gempa bumi dan tsunami. Sekolah tersebut berada di wilayah administrasi Kelurahan Tanjung Benoa yang mana pihak sekolah telah melatih kesiapsiagaan komunitasnya.


Baca juga: Menteri Sosial canangkan Kawasan Siaga Bencana di daerah rawan tsunami

Pewarta: Devi Nindy Sari Ramadhan
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2022