Depok (ANTARA) - Universitas Indonesia (UI) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melakukan diskusi untuk mencegah dan menangkal paham radikalisme dengan memanfaatkan kearifan lokal setiap daerah.

"Indonesia memiliki kearifan lokal yang dapat menangkal radikalisme dan terorisme," kata Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) Dr. Ngatawi Al-Zastrow dalam keterangannya, Jumat.

Ia mengatakan ini bukan berarti kearifan lokal menjadi solusi radikalisme dan terorisme, melainkan apakah masyarakat Indonesia mampu memanfaatkannya untuk itu. Kearifan lokal itu ibarat emas dan berlian yang perlu diolah. Ia bukan sekadar pengetahuan, melainkan ilmu yang dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari.

Zastrow menambahkan, kearifan lokal yang termasuk dalam kebudayaan ini harus menjadi ilmu laku. Kebudayaan harus built-in dalam diri, terekspresi dalam laku, dan terwujud dalam kerangka pikir.

Pernyataan Zastrow tersebut disampaikan dalam diskusi “Membingkai Budaya Keberagaman, Meneguhkan NKRI, Menolak NII”. Acara yang diadakan MAC UI berkolaborasi dengan Sekolah Kajian Stratejik dan Global (SKSG) UI dan Badan Penanggulangan Ekstremisme dan Terorisme, Majelis Ulama Indonesia (BPET-MUI) ini disiarkan langsung melalui kanal Youtube.

Baca juga: BNPT ajak generasi Z-milenial sebarkan narasi positif di media sosial

Baca juga: BNPT ungkap propaganda radikal dan terorisme bersifat lintas negara


Diskusi yang dihadiri Wakil Ketua BPET-MUI, Dr. K.H. Muslih Nasuha; Ketua Program Studi Kajian Terorisme SKSG UI, M. Syauqillah, Ph.D.; dan Lead Researcher of Terrorism and Political Violence Galatea Thinktank, Ulta Levenia, tersebut membahas upaya membendung munculnya paham radikalisme.

Menurut Syauqillah, semua organisasi teror di Indonesia memiliki akar yang sama meski diekspresikan dengan cara berbeda. Berbagai organisasi sebetulnya memiliki ideologi yang sama, yaitu membentuk pemerintahan khilafah atau daulah. Kesamaan tujuan ini membuat anggota organisasi tertentu mudah berpindah ke antar-organisasi serupa.

Tumbuhnya organisasi radikal di Indonesia disebabkan adanya pemahaman yang keliru atas ajaran agama. Dalam Islam, misalnya, dasar-dasarnya jelas merujuk ke Al-Quran dan Hadits. Namun, ketika penyampaiannya salah, pemahaman aturannya pun bisa keliru, katanya.

Proses penyampaian ajaran agama membutuhkan budaya agar mudah dimengerti masyarakat. Kepiawaian ustadz, kiai, dan ulama juga ditantang agar pesan yang disampaikan dipahami dengan tepat, ujarnya.

Baca juga: Dosen UI: Moderasi beragama perlu dikumandangkan tangkal radikalisme

Baca juga: UI: Melawan radikalisme dengan benteng pemikiran kritis

Pewarta: Feru Lantara
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2022