Jakarta (ANTARA News) - Otoritas kepabeanan Uni Eropa telah memberlakukan kebijakan Import Control System pada tanggal 1 Januari 2011.  Namun, karena masih banyak pihak terkait belum siap, bea cukai Uni Eropa masih memberi kesempatan hingga 31 Desember 2011 kepada mereka untuk bersiap.

Oleh karena itu, pihaknya tidak memberlakukan penalti atas pelanggaran berbagai aturan yang ada dalam ICS. Implementasi penuh, terutama pengenaan penalti, akan dilakukan pada tanggal 1 Januari 2012.

Salah satu aturan yang terdapat dalam ICS, yang merupakan standar untuk perdagangan internasional anjuran World Customs Organisation (WCO), adalah seluruh kapal peti kemas yang ingin melabuh di pelabuhan di negara-negara Uni Eropa harus melaporkan kargonya melalui dokumen yang disebut entry summary declaration (ENS) paling lambat 24 jam sebelum dimuat ke atas kapal di pelabuhan asal atau port of origin.

Bagi kapal-kapal curah (bulker) pemberitahuan isi muatan dapat dilakukan 4 jam sebelum sandar. Dan, ini mungkin hanya berlaku bagi operator seputar Eropa, pelayaran dengan waktu kurang dari 24 jam pemberitahuan bisa paling lambat 2 jam sebelum kedatangan. Selain kapal, pesawat, kereta api, dan truk yang akan memasuki Uni Eropa juga dikenai aturan yang sama walaupun batas waktunya berbeda satu dengan yang lainnya.

Deklarasi cukup ditujukan kepada otoritas kepabeanan salah satu negara yang tergabung dalam Uni Eropa. Jika disetujui oleh negara pertama, negara anggota lain otomatis juga akan menerima. Entry summary declaration ini dilakukan melalui mekanisme pertukaran data secara elektronis, lazim dikenal dalam dunia bisnis dengan istilah electronic data interchange alias EDI.

Pertanyaannya kini, tahukah pelayaran nasional akan ENS? Dan, yang paling penting, siapkah mereka menghadapi pemberlakuan ENS? Jika tidak bisa menerapkan prosedur ini, dapat dipastikan kapal-kapal berbendera Merah Putih akan ditolak bersandar di pelabuhan-pelabuhan Uni Eropa. Tak perduli kapal-kapal itu telah memenuhi semua persyaratan yang diatur dalam SOLAS, STCW, dan lain sebagainya. Pasalnya, ENS berada di bawah rezim hukum WCO sementara dua terakhir merupakan produk International Maritime Organization (IMO), dua institusi yang terpisah jauh.


EDI Pelayaran

Walaupun tidak diketahui bagaimana kesiapan insan pelayaran nasional menghadapi pemberlakuan ENS, penerapan EDI bukanlah hal yang baru bagi operator kapal nasional. Berdasarkan data PT EDI Indonesia, anak perusahaan Pelabuhan Indonesia II yang bergerak dalam bidang IT, dari sekitar 3.000-an perusahaan pelayaran di Tanah Air saat ini baru 126 perusahaan (0.042 persen) yang menerapkan EDI untuk menginformasikan barang ekspor dan impor yang diangkut kepada Bea Cukai.

Lagi-lagi, tidak diketahui juga apakah pelayaran yang telah EDI-comply tadi memanfaatkan mekanisme ini hanya untuk pengangkutan barang ekspor-impor atau yang lainnya, seperti penagihan jasa mereka kepada shipper, pengadaan suku cadang kapal, atau yang lainnya. Seandainya EDI dapat diterapkan di semua lini besar kemungkinannya mereka akan lebih efisien karena bisa memangkas rantai dan waktu proses administrasi antara pelayaran dan mitranya serta menghemat pemakaian kertas (paperless) secara signifikan. Dan, ujung-ujungnya mereka akan lebih kompetitif, paling tidak setara vis-a-vis pelayaran internasional dalam sisi harga dan keandalan atau reliability pelayanan.

Untuk pelayaran yang sama sekali belum menerapkan EDI, penjelasan yang bisa diberikan adalah sepertinya mereka cukup berpuas diri dengan penggunaan internet. Artinya, jika melakukan pengiriman barang, menerima order pengangkutan, penagihan jasa, dan lainnya hanya dengan menggunakan surat elektronik (surel). Model ini diyakini juga bisa mereduksi biaya, rantai administrasi, dan kertas.

Hanya satu celah yang internet tidak bisa menutupinya, yakni akurasi. Maksudnya, ketika surel yang masuk banyak, katakanlah 100 per hari, akan sangat sulit bagi tenaga administrasi pelayaran untuk mengklasifikasikannya sehingga kesalahan tidak dapat dihindari. Sementara dengan EDI hal seperti itu dapat dihilangkan sama sekali karena ada aplikasi khusus untuk itu.

Karena tenggat waktu pelaksanaan ENS secara penuh hanya tersisa kurang dari empat bulan, perusahaan pelayaran yang EDI-comply harus bergegas karena akan diperlukan beberapa up grading terhadap aplikasi EDI yang saat ini mereka pakai soalnya ENS memperkenalkan beberapa dokumen baru yang harus isi. Bergantung kepada Perusahaan Pengurusan Jasa Kepabeanan (PPJK) atau mungkin forwarder yang selama ini membantu mereka mendapatkan order angkutan jelas tidak mungkin.

Dalam kalimat lain, jika nantinya PPJK/forwarder memberi tahu otoritas kepabeanan Uni Eropa akan barang ekspor yang akan masuk dari Indonesia, pihak pelayaran yang mengangkutnya tidak perlu lagi melaporkannya dan bisa tenang-tenang saja berlayar menuju pelabuhan tujuan. Dalam skema ENS pelayaran dan PPJK/forwarder adalah dua pihak yang berbeda sehingga aplikasi yang disiapkan pun berbeda.

Yang terberat dari penerapan ENS ini adalah pada kapal kontener. Mengingat pelayaran kontener dalam negeri hampir tidak ada yang melabuhi Eropa, mereka hanya transit di Singapura, Malaysia, atau Hong Kong, ini berarti peti kemas ekspor ke Benua Biru itu akan dikenai biaya dokumen tambahan oleh main line operator (MLO) yang melayani pengiriman dari tiga negara tersebut. Penulis mendapat informasi, besarnya biaya dokumen ini berkisar 20-25 dolar AS per peti kemas. Ditambah biaya angkut, bisa dibayangkan berapa harga jual produk kita di pasar Eropa. Pastinya tidak kompetitif.

*Direktur The National Maritime Institute (Namarin)

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2011