Jakarta (ANTARA News) - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta pemerintah untuk membenahi manajemen keamanan di Papua dengan mengevaluasi postur, struktur dan kultur aparat keamanan yang selama ini bertugas di Papua, sesuai dengan prosedur dan keputusan politik.

"Dalam penegakan hukum di Papua pun, tidak melibatkan Brimob dan Densus 88 Anti Teror," kata Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim usai melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat, tokoh agama dan organisasi masyarakat sipil di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Rabu.

Hal itu, kata dia, agar penyelesaian masalah di Papua tidak memakai pendekatan kekuasaan dan kekerasan.

Pihaknya juga meminta pemerintah agar melibatkan seluruh elemen masyarakat guna mencari solusi kekerasan di Papua. Karena jika jumlah aparat tetap seperti sekarang, maka konflik kekerasan berpotensi terus terjadi dan meluas.

Pasalnya, kebanyakan aparat kepolisian yang bertugas menjaga keamanan didominasi unsur Brimob dan Densus 88 Mabes Polri. Karena itu dalam menangani demo atau keamanan menggunakan pendekatan represif dan tindakan kekerasan.

"Tindakan intimidasi ini yang harus dikurangi. Caranya dengan menarik pasukan non-organik," kata Ifdhal.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Muridan S Widjojo mengatakan, kekerasan di Papua saat ini telah menjadi siklus yang tidak pernah terputus, sehingga menghasilkan beberapa sub-sistem di dalamnya sehingga mengakibatkan eskalasi kekerasan terus meningkat.

"Operasi militer tidak akan memutus siklus itu. Apalagi, siklus ini sudah berlangsung sejak puluhan tahun lalu. Kita harus tegas kalau ingin membuat Papua baru di bawah naungan Negara Kesatuan Republik Indonesia," kata Muridan.

Anggota Komisi I DPR Fraksi Partai Golkar, Yorrys Raweyai, menuding kasus kekerasan terus berlangsung di Papua karena penanganannya menggunakan pendekatan kekuasaan.

Polisi maupun TNI yang bertugas di sana ikut terlibat secara represif dalam menghadapi demo masyarakat Papua. "Brimob dan TNI main tembak. Ini yang membuat kekerasan di sana berlarut-larut," kata Yorrys.

Menurut Yorrys, penanganan keamanan di Papua hendaknya mengedepankan kemanusiaan. Masyarakat Papua harusnya didekati dan diajak berbicara untuk mencari solusi terhadap aspirasi yang dimintanya.

Sayangnya, pemerintah pusat merespon tuntutan warga Papua dengan pendekatan keamanan dengan mengirim banyak pasukan. Akibatnya, konflik itu menjadi meluas dan mendapat sorotan dunia internasional.

"Pemerintah harus mengevaluasi pendekatan yang selama ini sudah dilakukannya dan terbukti tak menyelesaikan masalah," kata politisi dari Papua itu.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Imparsial Poengky Indarti, mengatakan, pemerintah masih melihat stigma separatis dalam menyelesaikan persoalan Papua, sehingga seringkali terjadi kekerasan.

"Pemerintah ingin meningkatkan kesejahteraan bagi masyarakat Papua. Namun, masih melihat stigma separatis sehingga persoalan Papua tidak dapat diselesaikan," katanya.
(T.S037/R010)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2011